REPUBLIKA.CO.ID, DETROIT -- Remaja Afrika-Amerika ditengarai lebih rentan mengalami krisis kesehatan mental dibandingkan remaja kulit putih. Sayangnya, mereka lebih jarang mencari bantuan dari profesional atau mendapat akses untuk penanganan.
Pakar psikologi anak dan remaja Rebecca Klisz-Hulbert di Detroit, Michigan, Amerika Serikat (AS) menjelaskan alasannya. Remaja kulit hitam rawan mengalami diskriminasi, selain kemiskinan dan kurangnya fasilitas kesehatan.
"Semua itu menempatkan mereka pada risiko lebih tinggi mengidap depresi dan masalah kesehatan lain," kata perempuan yang merupakan Asisten Profesor di Departemen Psikiatri dan Perilaku Neurosains di Wayne State University.
Klisz-Hulbert mengatakan selama satu tahun terakhir terdapat sembilan persen remaja kulit hitam yang disinyalir mengidap depresi mayor. Akan tetapi, dari keseluruhan jumlah itu, hanya 40 persen yang menerima penanganan.
Akibatnya bisa fatal, termasuk pilihan bunuh diri yang kini menjadi penyebab kematian kedua remaja Afrika Amerika berusia 10-19 tahun di AS. Jumlah tersebut meningkat dengan cepat dibandingkan kelompok etnis atau ras lainnya.
Data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menunjukkan, sejak 1991 hingga 2017, jumlah bunuh diri remaja kulit hitam meningkat hingga 73 persen. Menurut Klisz-Hulbert, ini harus jadi perhatian orang tua dan para guru.
Sejak awal pandemi, anak dan remaja kulit hitam pun rentan mengalami kejadian traumatis. Belum lagi dengan berbagai kabar tentang penembakan George Floyd, Ahmaud Arbery, serta banyak kasus lain dengan korban etnis Afrika Amerika.
Klisz-Hulbert mengutip sejumlah studi yang mengungkap remaja Afrika Amerika dan keluarga kurang bisa mengidentifikasi gejala gangguan kesehatan mental. Anak dan remaja bisa tumbuh dewasa tanpa mengetahui itu sama sekali.
Banyak pula orang tua yang takut anak mereka dicap 'gila'. Stigma sosial itu menjadi beban dan penghalang orang tua untuk menjangkau penanganan. Diskriminasi juga jadi alasan untuk tidak mengakses tenaga profesional.
Laporan lain menunjukkan bahwa remaja kulit hitam dengan gangguan kejiwaan lebih mungkin untuk dirujuk ke sistem peradilan anak. Sementara, remaja kulit putih dengan kasus sama lebih sering dirujuk untuk perawatan kesehatan mental.
Dengan gelombang protes terkait #BlackLivesMatter melanda AS, Klisz-Hulbert percaya perawatan kesehatan mental untuk remaja kulit hitam bisa terus diupayakan. Akan tetapi, investasi dalam ketersediaan perawatan saja tidak cukup.
"Untuk memberikan dukungan sosial, kita sebagai masyarakat harus merombak stigma, ketidakpercayaan kultural, dan ketidakadilan sistemik," ungkap Klisz-Hulbert dikutip dari laman The Conversation.