REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewasa ini, makanan olahan sangat mudah sekali di dapat. Faktanya, menurut American Heart Association (AHA) 50 persen dari makanan khas Amerika terdiri dari makanan ultra-olahan.
Makanan olahan adalah makanan yang telah dimasak, dibekukan, dikemas atau diubah dalam komposisi gizi. Makanan olahan sering dikaitkan sebagai penyebab gagalnya diet, tetapi tidak semuanya layak dinilai buruk.
Dalam beberapa kasus, pemrosesan sebenarnya dapat memberikan tambahan vitamin dan nutrisi karena fortifikasi. Fortifikasi adalah ketika nutrisi tertentu ditambahkan ke makanan untuk meningkatkan kepadatan nutrisi. Contohnya susu diperkaya dengan vitamin D, yang tidak secara alami ada dalam susu.
Makanan olahan terbagi dua macam, ada makanan olahan minimal dan ultra-olahan. Olahan minimal adalah makanan yang telah dikemas atau diawetkan pada kesegaran puncak, seperti tomat kaleng, sayuran pre-cut, tuna atau buah beku. Sementara ultra-olahan adalah makanan siap saji yang lebih banyak diproses seperti kerupuk, granola, dan daging deli.
Pasteurisasi adalah bentuk lain dari pengolahan makanan yang bermanfaat. Proses ini berlaku untuk makanan seperti susu untuk menghancurkan bakteri yang berpotensi berbahaya.
Tetapi, tentu saja, makanan olahan dapat merusak kesehatan seseorang jika dimakan terlalu banyak atau terlalu sering dikonsumsi. Pemrosesan yang dilakukan berkali-kali juga dapat menghilangkan vitamin dan mineral alami makanan.
Lantas, bagaimana sebenarnya respon tubuh ketika kita mengonsumsi makanan olahan? Berikut uraiannya seperti dilansir Live Strong, Kamis (16/7).
Menaikkan berat badan
Makanan olahan telah dikaitkan dengan kenaikan berat badan karena padatnya kalori. Menurut tinjauan yang diterbitkan dalam Current Obesity Reports pada Desember 2017 disebutkan bahwa mengonsumsi lebih banyak makanan ultra-olahan dikaitkan dengan risiko obesitas yang lebih tinggi.
Tidak jelas apakah risiko tinggi untuk obesitas adalah karena pengolahan makanan yang menghilangkannya dari nutrisi penting, atau karena makanan olahan sering dikemas dengan kadar gula lebih banyak.
Tingkatkan risiko kematian
Meskipun tidak ada makanan ultra-olahan yang telah terbukti secara langsung menyebabkan kanker, diet yang sangat diproses telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian secara keseluruhan. Ini menurut sebuah studi Mei 2019 di BMJ, yang menganalisis diet hampir semua orang. 20.000 pria dan wanita di atas 5 tahun.
Dalam studi ini ditemukan bahwa penyebab utama kematian adalah kanker. Namun risiko kematian tertinggi dikaitkan dengan konsumsi makanan ultra-olahan yang banyak.
Jantung
Studi lain pada Mei 2019 di BMJ mengamati lebih dari 100.000 orang dan menemukan bahwa mengonsumsi makanan ultra-olahan dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung. Beberapa jenis makanan yang mereka temukan berasosiasi dengan lemak dan saus ultra-olahan, daging, produk manis, minuman olahan, dan makanan ringan asin.
Usus
Usus yang sehat adalah usus yang memiliki jumlah bakteri beragam jenis dan jumlahnya. Pola makan Anda berpotensi mengubah komposisi bakteri dalam usus. Faktanya, diet yang kaya serat dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri usus yang sehat dan mengurangi peradangan di usus.
Makanan ultra-olahan dapat memiliki efek negatif jangka panjang pada kesehatan. Tetapi jika kita memakannya dengan bijak, memprioritaskan mengonsumsi makanan olahan minimal daripada ultra-olahan, maka ini bisa menjadi bagian dari gaya hidup seimbang dan bergizi.