REPUBLIKA.CO.ID, MINNEAPOLIS -- Aparat dari badan keamanan serta penegak hukum di Amerika Serikat (AS) dilaporkan telah berulang kali menggunakan gas air mata dalam menghadapi gelombang demosntran yang melakukan unjuk rasa atas kematian George Floyd. Banyak warga yang melakukan aksi protes karena menganggap kematian pria keturunan Afrika-Amerika itu terjadi secara tidak adil dan menuntut para pelaku dihukum dengan seberat-beratnya.
Terlepas dari apakah menembakkan gas air mata pada para demonstran dibenarkan dalam kondisi tertentu, dilansir Fox News, metode ini berpotensi menimbulkan konsekuensi kesehatan yang berbahaya. Gas air mata pada dasarnya dilepaskan dengan tujuan menyebabkan ketidaknyamanan langsung pada manusia.
"Isi dan ukuran aerosol dirancang untuk segera berdampak pada mata serta sistem pernapasan (dari hidung ke paru-paru)," ujar Panagis Galiatsatos, seorang dokter spesialis paru-paru dan asisten profesor di Universitas Johns Hopkins dalam sebuah pernyataan.
Bagi banyak orang, efek langsung yang dapat timbul dari gas air mata adalah kesulitan bernapas. Alexander Isakov, seorang direktur eksekutif Office of Critical Event Preparedness and Response sekaligus profesor di badang kedokteran darurat di Emory University School of Medicine memerinci efek iritasi kimia dalam gas air mata.
"Umumnya, ini menyebabkan sensasi terbakar, kejang pada kelopak mata, serta bersin, batuk, dan ketidaknyamanan di kulit," jelas Isakov.
Meski Isakov mengatakan penggunaan gas air mata secara umum dianggap aman, terdapat risiko cedera yang lebih serius tergantung pada bagaimana cairan dilepaskan. Orang-orang bisa terluka jika terkena peluru proyektil atau jika kulit terpapar panas yang dihasilkan alat untuk melepaskan gas air mata.
Orang-orang yang sudah punya gangguan kesehatan dapat lebih serius terkena iritasi kimia. Isakov mengatakan, mereka bisa terkena serangan asma saat terkena gas air mata.
Jika gas air mata digunakan pada orang-orang di lingkungan tertutup, di mana mereka tidak dapat melarikan diri, risiko cedera meningkat karena paparan berlebih. Russell Buhr, asisten profesor kedokteran di divisi perawatan paru-paru di David Geffen School of Medicine mengatakan, tanpa perhatian yang tepat, serangan asma yang disebabkan oleh iritasi dalam gas air mata bisa mematikan.
Buhr juga menjelaskan bagaimana gas air mata dan semprotan merica telah menunjukkan risiko kesehatan. Ia mengutip tinjauan sistematis BMC Public Health yang menemukan lebih dari 9.000 cedera yang didokumentasikan, termasuk dua kematian serta 58 orang menderita cacat permanen akibat gas air mata dan semprotan merica.
Sementara itu, menurut Galiatsatos, jika trauma terjadi pada bagian kepala seseorang, ada risiko gegar otak. Trauma menuju dada dapat menyebabkan kesulitan bernapas atau nyeri dada.
"Beberapa trauma kekuatan tumpul bahkan dapat mengakibatkan kematian, meski risikonya rendah," kata Galiatsatos.
Sementara itu, Galiatsatos juga mengungkapkan apakah bahan kimia dalam gas air mata berpotensi menyebabkan hilangnya penglihatan. Ia mengatakan, ini tergantung pada bahan kimia yang digunakan, namun sebagian besar kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi atau jikapun ada akan bersifat sementara.
"Bahan kimia ini tidak dimaksudkan untuk mengarah pada masalah permanen, tetapi ketidaknyamanan yang lebih langsung. Namun, ketika mata terkena lemparan tabung, itu dapat menyebabkan jaringan parut kornea yang dapat menyebabkan hilangnya penglihatan sementara atau permanen," jelas Galiatsatos.
Buhr mengatakan, dari sudut pandang kesehatan masyarakat, penggunaan gas air mata harus sangat diminimalisir. Ia menegaskan bahwa untuk melakukan metode ini, pihak berwenang terlebih dahulu harus memberi banyak peringatan kepada para pengunjuk rasa untuk memungkinkan orang-orang paling rentan terhadap cedera untuk pergi terlebih dahulu.
Selain itu, Buhr juga menyarankan agar demonstran atau orang-orang yang ada di sekitar aksi unjuk rasa berlangsung untuk melakukan tindakan pencegahan dengan mengenakan pelindung mata dan penutup wajah. Ini sekaligus berfungsi untuk meminimalisir penyebaran infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) yang sedang menjadi pandemi global.
Di AS, demonstrasi telah berlangsung meluas di seluruh wilayah negara sejak kematian Floyd pada 25 Mei yang dinilai sebagai salah satu bentuk rasisme terburuk. Saat itu, ia didatangi dan ditangkap oleh sejumlah petugas kepolisian Minneapolis, Minnesota karena menggunakan uang 20 dolar palsu di sebuah toko.
Dalam sebuah rekaman video, setelah didatangi polisi, Floyd diborgol dan tidak memberontak sepanjang proses penangkapan tersebut. Kemudian pria berusia 46 tahun itu ditahan dengan posisi tiarap, lalu petugas memegangi badan dan salah satunya menahan bagian leher dengan lutut.
Polisi mengeklaim bahwa Floyd sempat melawan ketika ditangkap. Pengacara yang mewakili keluarga Floyd yang diduga dibunuh oleh Chauvin meminta tuntutan tambahan.
Salah satu pengacara, Antonio Romanucci, mengatakan tiga petugas polisi lainnya yang berada di tempat kejadian harus juga menghadapi dakwaan. Ia menjelaskan bahwa tidak hanya lutut di leher yang menjadi penyebab kematiannya, tetapi juga berat kedua lutut petugas polisi lain di punggungnya menjadi penyebab kematiannya.