REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kekayaan rasa soto memang tidak bisa dipungkiri kenikmatannya di lidah masyarakat Indonesia. Belum lagi ragam rasa yang disajikan beberapa daerah dengan keunikannya tersendiri.
Di samping bahan utama berupa daging-jeroan, masyarakat tentu sudah tidak asing melihat pernak-pernik pendamping kuliner soto. Beberapa diantaranya terinspirasi dari makanan Eropa mengingat akulturasi budaya di masa lampau.
"Jika kita menilik lebih jauh pernak-pernik pendamping soto, kitapun menemukan betapa kaya dan kosmopolitannya perjumpaan bumbu dalam sesajian ini," kata Pemerhati Kuliner dari Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, Ary Budiyanto kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan penelusuran Ary, pengaruh Eropa terlihat pada bahan ketumbar dan seledri di kuah soto. Adapula lauk tambahan perkedel yang berasal dari kata frikkadel. Makanan ini merupakan budaya peranakan Belanda Indies yang aslinya dari Perancis.
"Beberapa soto wilayah selatan Jawa biasanya memakai kol/kubis yang berasal dari Eropa," jelasnya.
Tak hanya Eropa, pengaruh peranakan China juga tersaji pada beberapa soto. Bahan pendamping ini antara lain tahu goreng, telur rebus dan daging-jeroan masak pindang. Daging-jeroan pindang berarti dimasak santan dan bumbu rempah serta gula merah dan kecap.
Pernak-pernik tambahan soto berupa kerupuk udang juga dinilai berasal dari peranakan China. Berikutnya, taburan seperti soun dan bihun pada soto. Lalu adapula taburan bawang putih goreng yang merupakan ciri khas masakan China.
Namun, taburan bawang pada soto sebenarnya tidak seluruhnya berasal dari China. Menurut Ary, taburan bawang merah goreng kemungkinan khas masakan Nusantara. Selain itu, pengaruh Indonesia juga tersaji pada keberadaan emping melinjo dan rambak kulit. Lalu adapula tempe goreng yang dinilai khas kuliner Jawa.
Dibandingkan beberapa daerah lainnya, Ary berpendapat, soto lebih populer di Pesisir Utara Jawa di masa lampau. Hal ini tidak lepas dari keberadaan dan kedatangan masyarakat luar Nusantara. Kaum peranakan diprediksi telah hadir setidaknya di abad 18-an, bahkan sudah banyak menjadi "Jawa".
Menurut Ary, pertemuan kuliner antara Jawa dan China kemungkinan dapat terjadi di dapur para priyayi peranakan. Kemudian seni memasak ini menyebar ke luar bersamaan dengan para asisten dan koki dari kalangan pribumi. Mereka ini bisa saja mengajarkan cara memasak kuliner tersebut ke keluarganya.
Popularitas soto dapat dipengaruhi adanya pedagang makanan keliling asli China. Banyak di antara mereka yang berjualan di area pesisir Jawa lalu bertemu berbagai macam masyarakat. Dari sini, kemungkinan besar telah terjadi perpaduan rasa dengan India, Arab maupun Eropa.
Di Soto Kudus misalnya, Ary mengaku, menemukan penggunaan kecap lokal buatan peranakan. Bahkan, ditemukan paduan bahan tauco di Soto Pak Kardjin Kudus. Lalu adapula taburan bawang putih dan irisan kucai yang dapat dipastikan adanya pengaruh China di kuliner tersebut.