REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang karier menulisnya, penulis Boim Lebon meyakini bahwa ide bisa datang dari mana saja. Pria yang aktif menulis sejak masih duduk di bangku SMA itu mengeksplorasi gagasan cerita dari pengalaman pribadi maupun orang lain.
"Saya sering mengobrol, sama tetangga, teman kantor, teman warung. Ketika mereka cerita pengalaman menarik, langsung saya catat, nggak dibiarkan terbuang begitu saja," kata Boim pada acara Bincang Buku Online di akun Instagram @bukurepublika, Selasa (19/5).
Mencatat peristiwa yang dijumpai atau cerita unik dari orang lain sudah menjadi kebiasaan Boim. Terkadang, dia merekamnya dengan ponsel. Begitu pulang ke rumah, Boim disiplin mengarsipkan ide-ide itu di komputer, bahkan sampai sekarang.
View this post on Instagram
Pengarang buku sketsa dan komik bergizi Haji Boim itu mengatakan, ide-ide tersebut disimpan sesuai tema secara terpisah. Suatu saat ketika Boim ingin mengemas sebuah cerita utuh, dia cukup melihat lagi semua arsipnya dan menggabungkan ide yang sesuai.
Boim punya kebiasaan menulis di waktu-waktu tertentu, termasuk menulis beberapa lembar sehabis sholat Subuh. Terbiasa menulis secara kontinyu membuatnya terlatih mengelola konflik antarkarakter dalam cerita, termasuk berbagai pengembangan plot.
Menurut Boim, untuk membuat cerita yang kuat perlu adanya penokohan yang juga kuat. Dia selalu suka mendiskusikan karakter dengan orang lain. Salah satunya karakter Lupus, yang sebagian novelnya merupakan kolaborasi Boim dengan penulis Hilman Hariwijaya.
Boim mencontohkan, tokoh Lupus kecil berbeda dengan Lupus ABG. Lupus kecil sama-sama pintar dan konyol, tapi tentunya dia belum beranjak dewasa. Itu sangat berpengaruh pada jalan cerita, dialog, watak, serta lelucon yang termuat dalam buku.
Sebelum menulis buku, Boim mengamati bagaimana siswa SD mengobrol dan bercanda, saat mereka kepanasan, bahkan ada yang menangis saat ibunya tidak datang menjemput. "Semua saya perhatikan, saya catat, kemudian mencari korelasi dengan cerita," ujarnya.