Jumat 08 May 2020 22:12 WIB

PSBB, Istri tak Boleh Duduk di Samping Suami yang Mengemudi?

Aturan penjarakan duduk penumpang mobil dengan pengemudi menuai kontroversi.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Polisi memberikan imbauan agar penumpang mobil pindah bangku saat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Polisi memberikan imbauan agar penumpang mobil pindah bangku saat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan duduk penumpang mobil dalam masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih terus menjadi perdebatan di masyarakat. Terlebih setelah video seorang pria yang belakangan diketahui bernama Endang Wijaya memarahi petugas saat diminta agar istrinya yang duduk sampingnya saat di mobil untuk pindah ke belakang.

Petugas menjelaskan, aturan itu bertujuan untuk menjaga jarak antarorang demi memutus penyebaran virus corona tipe baru. Endang mempersoalkan aturan bagi penumpang kendaraan roda empat yang dianggapnya tidak tepat karena pengguna motor masih boleh berboncengan.

Baca Juga

Endang tentunya bukan satu-satunya pengendara mobil yang pernah disetop petugas karena berdampingan dengan sang istri saat mengemudi. Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Zaenal Arifin. juga pernah mengalaminya.

Kala itu, Zaenal tengah keluar rumah bersama keluarganya dengan menggunakan mobil. Dalam mobil tersebut, ada empat orang, termasuk anak dan ibu mertuanya.

Menurut Zaenal, keluarganya sekadar ingin jalan-jalan saja, tapi melewati perbatasan kota Bekasi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia mengatakan, rumahnya di Jati Asih, tidak jauh dari perbatasan tersebut.

"Ketika kami balik masuk lagi di wilayah Jati Asih, Kota Bekasi mobil kami distop oleh petugas. Mereka tanya berapa orang? Kami jawab empat orang. Di tanya lagi pakai masker nggak? Kebetulan kami semua pakai masker. Terus kami bilang, kami satu mobil ini satu keluarga dan satu rumah. Rumah kami juga tidak jauh dari sini," ungkapnya kepada Republika.co.id, Kamis (7/5).

Menurut Zaenal, untuk mobil pribadi, yang perlu ditanyakan bukan berapa orang. Tapi apakah satu keluarga atau tidak.

Zaenal memahami alasan orang mempertanyakan keharusan mengatur jarak duduk penumpang mobil yang masih satu keluarga. Sebab, suami, istri, dan anak yang semuanya sehat niscaya tidak berjarak saat berada di rumah, bahkan dapat satu tempat tidur.

Mereka juga tidak pakai masker selama berada di rumah. Oleh karena itu, Zaenal menilai, tak ada bedanya di mobil dengan di rumah.

"Hanya pindah tempat saja, dari rumah ke mobil," ujarnya.

Menurut Zaenal, lain halnya jika mobil berisikan dua atau tiga orang, tetapi tidak satu keluarga. Di situlah celah keamanannya. 

"Ini tentu tidak aman, tetapi sekeluarga juga masalah bisa ada salah satu yang positif Covid-19," jelas Zaenal.

Bagi mereka yang bepergian dengan mobil bersama orang yang tidak serumah, Zainal mengingatkan ada risiko penularan virus corona yang mungkin terjadi. Sebisa mungkin, itu dihindari atau paling tidak menggunakan alat pelindung diri.

"Kembali saja ke prinsip penularan."

Di mata Zaenal, petugas perlu memahami prinsip penularan virus corona agar tidak terlalu kaku. Di lain sisi, masyarakat juga tak perlu marah-marah ketika dihentikan petugas.

"Biar damai dan tidak stres kita," kata Zainal.

Zainal tidak menyalahkan petugas yang menghentikan mobilnya. Ia memahami bahwa petugas melaksanakan perintah.

"Apalagi bila kita melewati perbatasan antar kabupaten/kota, semua daerah ingin agar warganya tidak tertular. Jadi, yang penting ada saling pengertian saja," ucap Zainal.

Sebagai solusi, Zainal merekomendasikan agar petugas mengambil langkah praktis, misalnya dengan membatasi tiga penumpang di dalam mobil, mengharuskan mereka memakai masker, dan mengatur jarak duduk. Sebab tentu agak ribet bila harus memeriksa KTP warga satu per satu.

"Lebih baik ketat dibanding longgar, nanti makin banyak yang tertular," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement