Selasa 28 Apr 2020 14:17 WIB

Anak Muntah dan Diare Saat Pandemi, Haruskah ke RS?

Selama pandemi Covid-19, orang tua harus lebih ketat dalam membawa anak ke RS.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Petugas keamanan berjaga di depan pintu masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) Kota Bandung, Jalan KH. Wahid Hasyim, Kota Bandung, Jumat (13/3). Ketika anak muntah atau diare, cegah agar tak terjadi dehidrasi sehingga tak sampai perlu dibawa ke rumah sakit.
Foto: Republika/Abdan Syakura
Petugas keamanan berjaga di depan pintu masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) Kota Bandung, Jalan KH. Wahid Hasyim, Kota Bandung, Jumat (13/3). Ketika anak muntah atau diare, cegah agar tak terjadi dehidrasi sehingga tak sampai perlu dibawa ke rumah sakit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah pendemi Covid-19, orang tua harus lebih ketat dalam memutuskan kapan anaknya yang mengalami gangguan kesehatan harus dibawa ke rumah sakit. Berdasarkan panduan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada beberapa kondisi yang membuat anak harus segera mendapatkan penanganan dokter.

"Dalam kondisi gawat darurat, seperti sesak napas atau biru pada bibir dan diare terus-menerus atau muntah-muntah disertai lemas (dehidrasi), anak harus segera dibawa ke dokter," kata dokter spesialis anak, dr Arifianto SpA dalam Live Instagram pada akun resminya beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Arifianto mengatakan, anak biasanya dehidrasi karena diare, dengan atau tanpa muntah-muntah. Jadi, haruskah ke rumah sakit?

"Ketika anak diare tanpa dehidrasi, ia tidak perlu dibawa ke rumah sakit," jelasnya.

Di lain sisi, Arifianto mengingatkan agar orang tua mengetahui cara penanganan diare pada anak. Intinya, jangan sampai terjadi dehidrasi.

"Itu yang terpenting,” ujar dokter yang akrab disapa Apin ini.

Apa yang harus dilakukan ketika anak muntah? Menurut Apin, orang tua harus terus memberikan cairan. Berikan anak minum.

"Makin sering muntah, anak akan makin haus, meski akan dimuntahkan lagi," ungkapnya.

Begitu pula ketika diare. Cairan dibuang saat buang air besar (BAB). Otomatis, anak membutuhkan cairan lebih banyak.

"Obatnya cuma satu, yaitu cairan. Bentunya bisa apapun, termasuk cairan hidrasi oral alias oralit. Berikan cairan terus-menerus, jangan sampai berhenti,” sarannya.

Cara mengetahui cairan yang diberikan cukup atau tidak adalah dengan melihat dari frekuensi buang air kecil (BAK) yang terus meningkat. Biasanya, orang tua melihat anak dehidrasi atau tidak dari ciri fisiknya, misalnya ubun-ubun cekung, mata cekung, dan badan lemas.

Itu merupakan patokan anak dehidrasi. Namun, terkadang agak sulit mendeteksinya karena sering kali penilaiannya subjektif.

"Anak dikatakan dehidrasi lebih mudah dilihat dari frekuensi BAK," kata Apin.

Biasanya, anak di bawah dua tahun dikatakan dehidrasi kalau tidak pipis lebih dari enam jam. Sedangkan, anak di atas enam tahun disebut dehidrasi kalau tidak berkemih lebih dari delapan jam.

"Ini harus dilihat dari anak yang diare dalam kondisi tanpa muntah,” ujarnya.

Hal ini tidak berlaku untuk anak yang tidur. Anak tidur delapan, 10, sampai 12 jam tidak BAK, belum tentu dehidrasi. Patokan tersebut untuk anak dalam kondisi terjaga.

Perlukah diberikan obat? Menurut Apin, obat muntah dan diare tidak efektif diberikan. Sebab, prinsip muntah dan mencret adalah membuang virus dalam tubuh.

"Jangan ditahan, berikan oralit, apalagi anak yang masih ASI, berikan terus-menerus.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement