Senin 09 Mar 2020 00:05 WIB

Pasien Kanker Perlu Pendampingan Psikolog

Perasaan depresi dapat mempengaruhi daya imunitas tubuhnya dalam melawan sel kanker.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pita perlambang perjuangan melawan kanker.
Foto: Flickr
Pita perlambang perjuangan melawan kanker.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pasien kanker maupun keluarganya memerlukan pendampingan psikolog yang intensif dalam menjalani proses perawatan medis. Sayangnya tidak banyak klinik atau rumah sakit yang menyediakan layanan psikologis pada layanan komprehensif pengobatan kanker.

Hal itulah yang melandasi temu media bertema “Pendampingan Psikolog dan Penanganan Nyeri pada Penderita Kanker dengan Terapi Sel” di Klinik Hayandra, Kamis (5/3). Anggota tim psikolog di Klinik Hayandra, Cecilia Sagita menyayangkan proses pengobatan kanker masih fokus pada penanganan medis seperti operasi, radioterapi, kemoterapi.

"Padahal kondisi psikologis pasien kanker dan keluarganya juga merupakan sisi yang harus disentuh dalam layanan pengobatan kanker,” kata Cecilia dalam siaran pers.

Cecilia mengakui banyak pasien merasa divonis akhir hidupnya, saat didiagnosis mengidap kanker. Vonis tersebut membuat pasien kanker mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, ketakutan menjalani pemeriksaan, depresi, hingga kematian.

"Karena itu, selain pengobatan secara medik, pasien perlu juga diberikan intervensi yang tepat dari sisi psikologisnya," ujar Cecilia.

Cecilia menyebut saat pasien mulai menjalani proses pengobatan, tidak hanya memakan biaya dan waktu tetapi juga efek samping pengobatan yang menyakitkan. Kondisi tersebut berpotensi besar menimbulkan rasa frustasi, sedih, depresi pada pasien dan keluarganya.

"Pada akhirnya bagi diri pasien itu sendiri, perasaan depresi dapat mempengaruhi daya imunitas tubuhnya dalam melawan sel kanker," ujarnya.

Karena itu, layanan pengobatan kanker di Klinik Hayandra, lanjut Cecilia dilengkapi dengan pendampingan seorang psikolog. Pendekatan bio-psiko-sosial menjadi dasar untuk melihat manusia secara utuh dalam proses membantu penyintas kanker untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

“Diperlukan konseling dan psikoterapi sebagai langkah intervensi bagi pasien kanker untuk memberikan ketenangan dan membantunya menjalani perawatan medis dengan semangat positif,” lanjutnya.

Dalam pengobatan kanker, keluarga juga perlu mengambil peran penting untuk memberi dukungan dan perawatan pada pasien kanker. Kendati demikian, menurut Cecilia, sifat keluarga yang protektif justru dapat membuat tekanan pada kondisi pasien. Kerap kali keluarga justru bertindak sebagai ‘pengawas’ yang membatasi keinginan dan perilaku pasien yang dapat menjadi pemicu konflik antara pasien dan keluarganya.

“Adakalanya keluarga menjadi sangat protektif seperti membatasi kegiatan pasien, membatasi makan, membatasi kumpul dengan komunitas dan lainnya. Pembatasan yang berlebihan justru mendorong pasien mengalami stress dan tertekan,” jelasnya.

Kondisi stress dan tertekan akibat tindakan yang terlalu protektif dari keluarga tersebut, dapat berdampak menurunnya sel imun. Akibatnya sel kanker menjadi lebih aktif. Dalam kondisi ini, menurutnya psikolog dapat memberikan psikoedukasi dan konseling kepada anggota keluarga.

"Sehingga tercipta suasana kondusif dan nyaman untuk pasien yang berdampak positif pada kondisi medisnya," harapnya.

Menurut data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) Indonesia, prevalensi kanker dan tumor di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk di tahun 2018. WHO memprediksikan jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia meningkat menjadi lebih dari 13,1 juta manusia per tahun pada 2030. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement