REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Untuk menyelesaikan masalah perundungan di sekolah, tidak hanya korban yang didorong untuk berani bicara dan melapor. Mereka yang menjadi saksi tindakan perundungan juga harus dilatih untuk berani bicara.
Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan bahwa selama ini saksi tindakan perundungan cenderung mengambil jalan aman dengan tidak melaporkan pelaku. Saksi perundungan memilih jalan aman lantaran ia pun takut menjadi sasaran bullying.
Sebagai solusi, Retno menyarankan agar pihak sekolah membuka layanan pengaduan lewat daring, misalnya pesan Whatsapp (WA), surat elektronik, atau media lainnya.
“Sekolah harus membuat layanan pengaduan secara daring, email, WA, atau telepon, jadi saksi bisa merahasiakan identitasnya. Karena kalau mengadu langsung kan mungkin saksi takut. Dengan pengaduan daring, saksi lebih leluasa dan merasa aman untuk melapor,” kata Retno usai menjadi pembicara talkhow tentang perundungan di SMPN 109 Jakarta Timur, Jumat (6/3).
Selain membuat layanan pengaduan, sekolah juga bisa mengadakan sosialisasi dan edukasi terkait perundungan serta dampaknya bagi masa depan siswa. Edukasi dinilai penting lantaran semua siswa yang mengenyam pendidikan di suatu sekolah datang dari keluarga yang berbeda, entah perbedaan latar belakang, pola asuh, hingga strata sosialnya.
“Jadi ya maaf, kan latarbelakang keluarga berbeda-beda dan pada kenyataannya masih banyak orang tua yang tidak paham soal perundungan ini. Jadi edukasi di sekolah tentu bisa jadi solusi mencegah tindakan perundungan,” kata Retno.
Melalui sosialisasi dan edukasi, siswa juga akan paham bahwa tindakan perundungan bisa dibawa ke ranah hukum. Psikolog Mabes Polri AKBP Dilia Tri Rahayu mengatakan, tindakan perundungan yang merugikan korban bisa diproses secara hukum sesuai dengan Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 3,5 tahun penjara atau denda minimal Rp 72 juta. Meski memang, jika pelaku perundungan masih di bawah umur disarankan agar diselesaikan secara kekeluargaan.
“Banyak siswa yang tidak tahu terkait hal itu. Coba saja bayangkan kalau sampai di penjara 3,5 tahun masa depan anak itu bagaimana? Jadi memang edukasi penting,” kata Dilia dalam kesempatan yang sama.