REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prosedur eksperimental transplantasi rahim telah menghasilkan "keajaiban" bagi Jennifer dan suaminya, Drew Gobrecht yang telah lama mendambakan momongan. Jennifer menjalani transplantasi rahim lantaran terlahir tanpa rahim.
Untuk mencangkokkan rahim ke tubuhnya, Jennifer menjalani operasi selama 10 jam pada 2018. Ia mendapatkan donor dari perempuan yang sudah meninggal.
Dilansir laman WGXA TV, Jennifer dan Drew Gobrecht, mengatakan bahwa buah hati mereka, Benjamin, adalah bayi pertama yang lahir sebagai bagian dari percobaan transplantasi rahim Penn Medicine yang sudah berjalan selama dua tahun. Benjami adalah bayi kedua di Amerika Serikat yang dilahirkan oleh penerima transplantasi uterus, menurut Penn.
"Perjalanan ini tidak mudah, tetapi setiap kali saya melihat wajah Benjamin, saya tahu itu sepadan," kata wanita kata wanita 33 tahun tersebut dalam konferensi pers di Philadelphia pada Kamis pekan lalu.
Menurut Jennifer, hadirnya Benjamin benar-benar sebuah mukjizat. Ia dan suaminya merasa sangat beruntung memiliki Benjamin.
Sementara itu, ada sekitar 70 transplantasi rahim yang dilakukan di seluruh dunia. Penn Medicine mengungkapkan bahwa percobaannya adalah satu dari sedikit penerima sumbangan donor uterus dari seseorang yang masih hidup maupun telah meninggal.
Menurut Penn, kebanyakan program hanya menerima donor dari perempuan yang masih hidup. Dengan menerima donor uterus dari perempuan yang masih hidup maupun sudah meninggal, pihaknya diuntungkan dengan adanya kesempatan yang lebih luas dalam memperoleh organ donor rahim.
Beberapa ahli etika medis dan ahli transplantasi telah menyatakan kekhawatirannya tentang transplantasi rahim dan mempertanyakan apakah manfaatnya sebanding dengan risiko yang mungkin terjadi. Namun, Dr Kathleen O'Neill, salah satu peneliti utama pada uji coba di Penn mengatakan bahwa transplantasi rahim dapat memberi pilihan lain selain adopsi dan surogasi (sewa rahim).
"Transplantasi uterus adalah satu-satunya jalan bagi orang tua untuk benar-benar memungkinkan para wanita dapat menjalani kehamilannya sendiri,” kata O'Neill.
Penn mengatakan, peserta uji coba akan ditindaklanjuti selama lima hingga 10 tahun, mulai dari proses bayi tabung hingga follow-up jangka panjang setelah melahirkan. Sejalan dengan itu, pascamelahirkan, penerima cangkok uterus harus menjalani histerektomi alias operasi pengangkatan rahim untuk menghindari risiko penolakan oleh tubuh di kemudian hari.
Dalam kasus Jennifer, ia memiliki sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser hingga terlahir tanpa rahim. Itu merupakan suatu kondisi bawaan yang terjadi pada 1 dari setiap 4.500 wanita. Ia mengetahuinya pada usia 17 bahwa ia tidak akan bisa mengandung anak.
“Itu adalah hal yang sangat sulit untuk didengar sebagai seorang gadis remaja yang memiliki impian menjadi seorang ibu yang penuh kasih. Seperti banyak gadis muda, saya bermimpi tentang bagaimana rasanya tumbuh bayi di rahim saya, merasakan mereka menendang dalam perut saya, dan mimpi-mimpi itu menghilang,” kata Jennifer.
Bertahun-tahun kemudian, Jennifer dan suami, yang berasal dari pinggiran kota Ridley Park, Pennsylvania, menjalani perawatan kesuburan yang menghasilkan beberapa embrio. Mereka mengeksplorasi opsi surogasi hingga akhirnya Jennifer mengetahui tentang percobaan Penn.
Jennifer pun kemudian mendaftarkan diri untuk mengikuti program eksperimental tersebut. Benjamin lahir melalui operasi caesar pada bulan November 2019.
"Dua tahun yang lalu, jika kamu memberitahuku bahwa aku akan duduk di sini bukan hanya menjadi seorang ibu, tetapi seseorang yang dapat mengandung anaknya sendiri, aku tidak akan mempercayaimu, tapi di sinilah aku " kata Gobrecht.