REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesehatan mental dapat dipengaruhi oleh beragam faktor. Salah satu di antaranya adalah jam atau durasi kerja.
Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh sekelompok peneliti dari University of Cambridge dan University of Salford. Studi yang menghimpun data dari 70.000 partisipan pada 2009-2018 ini bertujuan mengetahui hubungan antara durasi jam kerja dan kesehatan mental.
Studi menyoroti orang-orang yang tak punya pekerjaan maupun orang yang sebelumnya berprofesi mengurus rumah tangga di rumah lalu kemudian mendapatkan pekerjaan. Hasil studi menemukan bahwa bekerja selama delapan jam per minggu atau kurang dari itu dapat menurunkan risiko masalah kesehatan mental hingga 30 persen pada kedua kelompok tersebut.
Durasi kerja yang lebih lama tidak menunjukkan adanya pengurangan risiko masalah kesehatan mental yang lebih besar. Oleh karena itu, tim peneliti menilai durasi kerja delapan jam per minggu merupakan 'dosis yang efektif' untuk mendapatkan manfaat kesehatan mental yang optimal.
"Kita sekarang memiliki gambaran bagaimana pekerjaan bergaji yang dibutuhkan untuk bisa memberikan manfaat psikososial," terang sosiolog dari University of Cambridge Dr Brendan Burchell seperti dilansir Good House Keeping.
Dari temuan ini, tim peneliti menilai ada beberapa modifikasi hari kerja yang dapat dilakukan. Misalnya libur lima hari seminggu, bekerja selama dua jam per hari selama lima hari, atau meningkatkan jumlah cuti tahunan dari hitungan minggu menjadi hitungan bulan.
Di masa depan, pengurangan jam kerja ini mungkin saja terjadi bila perusahaan memanfaatkan kecerdasan buatan, big data serta robot. Penguranagn jam kerja juga dikatakan dapat membantu mencegah terjadinya perubahan iklim. Menurut Think Tank Autonomy, penurunan jam kerja menjadi sembilan jam per minggu dapat memangkas emisi karbon.