REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun ini menjadi pelaksanaan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang ke-8. Di usianya yang sewindu, BWCF ingin memperingati jejak keilmiahan karya-karya Zoetmulder.
BWCF 2019 mengambil tema ‘Tuhan dan Alam (Membaca Ulang Panteisme - Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-Manuskrip Kuno Nusantara)’.
Panteisme adalah tema yang sering diulas Romo Zoetmulder, yang merupakan suatu paham filsafat dan teologi yang beranggapan bahwa Tuhan dan alam adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Gagasan Panteisme menolak aliran pemikiran Deisme. Aliran Deisme menganggap bahwa setelah penciptaan alam, Tuhan mengatasi alam dan terlepas dari alam.
Mereka yang menganut paham Deisme berkeyakinan alam kemudian dapat berkembang sendiri tanpa tergantung kepada Tuhan. Sebaliknya, Panteisme melihat alam adalah perwujudan emanasi Tuhan, maka dari itu setelah penciptaan alam, Tuhan hadir di mana-mana di alam dan terus menerus aktif di alam.
“Menurut Romo Zoetmulder, pemikiran ketuhanan yang ada dalam manuskrip-manuskrip kakawin dan suluk Jawa kuno, cenderung ke arah Panteisme,” ungkap Prof Mudji Sutrisno dalam konferensi pers BWCF 2019 di Cemara 6 Galeri, Jakarta Pusat.
Dalam buku Manunggaling Kawula Gusti, Romo Zoetmulder menulis menurut pandangan Panteis, dunia terlebur dalam Tuhan atau Tuhan manunggal dengan dunia. Setelah penciptaan dunia, Tuhan tidak mengundurkan diri melainkan terus-menerus menciptakan alam dunia, dan dunia terus-menerus tergantung kepada Tuhan.
“BWCF ingin mengangkat tema ini dan mendiskusikan bahwa gagasan demikian bukan hanya dikenal dengan pemikiran Hindu-Budhis Jawa kuno, tapi juga sampai pemikiran tasawuf muslim yang berkembang di Nusantara,” kata Prof Mudji lagi.
Selain tema Panteisme, secara khusus pihaknya juga ingin mengupas apa yang disebut dengan pemikiran Tantrayana. Meski Romo Zoetmulder dalam penelitian-penelitiannya sama sekali tidak menyentuh isu Tantrayana dalam religi masyarakat Jawa kuno, namun dalam dunia akademis studi-studi sejarah Budhisme belakangan ini, makin menaruh minat untuk mengkaji bagaimana antara kurun waktu 7-13 masehi di seluruh wilayah Budhisme Asia, pemikiran Tantrayana, atau Budhisme esoteris tumbuh subur.
Menurut salah seorang ahli Sansekerta, Dr Andrea Acri, yang kini mengajar studi Tantra di Ecole Pratique des Hautes Etudes di Paris, dalam pengantar buku Esoteriv Budhism in Mediaeval Maritime Asia, gejala Budhism esoteris (Tantrayana, Vajrayana, Mantrayana) di masa silam adalah gejala Pan-Asia. Pemikiran Tantrayana muncul dan tersebar dari India, Tibet, Nepal, Srilanka, Cina, Jepang, Korea, sampai Jawa dan Sumatera.
Jawa dan Sumatra sendiri pada zaman lampau, termasuk salah satu tempat bersemainya pemikiran Tantrayana yang kuat. Itu tercermin dalam banyaknya candi-candi, situs-situs, dan artefak-artefak yang berbau Tantrayana dan Vajarayana.
Manuskrip-manuskrip Jawa kuno seperti Kakawin Sutasoma atau Kakawin Kunjarakarna (keduanya juga diulas Romo Zoetmulder) sampai teks Sang Hyang Kamahayanikan sesungguhnya sarat dengan pemikiran Budhisme esoteris. Maka dari itu BWCF 2019 dalam satu sesi yang khusus akan membahas Tantrayana di Nusantara.
“BWCF melihat selama ini belum pernah ada sama sekali sebuah seminar atau simposium yang khusus mengkaji Tantrayana. Pemikiran Tantrayana, Vajrayana, Mantrayana di zaman lampau, seringkali disalahpahami, karena sering direduksi sebagai aliran rahasia Budhisme yang praktik-praktiknya tentang seks, tanpa pernah secara kritis membahas duduk perkara religinya,” papar Prof Mudji.
Dalam BWCF 2019 ini, pihaknya akan mengundang berbagai pakar, untuk mengupas Panteisme dan Tantrayana di Nusantara. Dan juga akan mengundang Dr Andrea Archi dari Paris, untuk menyampaikan pidato kebudayaan mengenai Tantrayana di Nusantara, antara abad 7-13 masehi.
Acara akan digelar pada 21-23 November 2019 di hari pertama berlokasi di Ballroom 3 Hotel Tentrem Yogyakarta, hari kedua dan hari ketiga berlokasi di Manohara Hotel, Rumah Doa Bukit Rhema (Gereja Ayam), dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.