REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik untuk bayi. Dalam rangka pemberian ASI eksklusif untuk bayi dalam 6 bulan pertama kehidupannya, khususnya bagi Ibu bekerja merupakan hal yang perlu mendapatkan dukungan baik dari keluarga maupun dari perusahaan tempat ibu bekerja.
Model promosi laktasi di setiap tempat kerja harus dianggap sebagai investasi. Berdasarkan penelitian terbaru, penerapan model laktasi yang jelas dan tepat terbukti membuat pekerja perempuan 8 kali lebih produktif untuk mencapai target kerjanya.
Peneliti dari Ikatan Alumni Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr Ray Wagiu Basrowi menjelaskan, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 angka pemberian air susu ibu secara eksklusif untuk bayi nol sampai enam bulan (prevalensi ASI eksklusif) di Indonesia masih berkisar 32 persen, jauh dibandingkan negara-negara lain antara 50 persen - 60 persen.
“Artinya 7 dari 10 orang ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kelahiran bayinya,” kata Ray di Jakarta, Rabu (6/11).
Salah satu faktor utama rendahnya angka prevalensi itu adalah besarnya jumlah ibu pekerja yang berhenti memberikan ASI eksklusif. Saat ini 55 juta dari 138 juta pekerja di Indonesia adalah perempuan. Sayangnya, sebagian besar pekerja perempuan terpaksa harus menghentikan pemberian ASI eksklusif di tengah jalan antara lain karena cuti melahirkan yang hanya tiga bulan dan tidak tersedianya ruang laktasi yang memadai di tempat kerja.
Hasil penelitian FKUI menunjukkan, hanya 21 dari 100 pekerja perempuan di Indonesia yang memperoleh fasilitas laktasi memadai, hanya 7 dari 100 pekerja menikmati program dan edukasi laktasi di tempat kerja dan 98 persen pabrik tidak memiliki konselor laktasi siaga. Akibatnya, hanya 2 dari 10 pekerja yang mampu memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
“Yang menyedihkan, 5 dari 10 pekerja perempuan memompa ASI di toilet/kamar mandi yang tidak higienis karena tidak ada ruang laktasi yang memadai dan privat,” tutur Ray.
Menurut Ray, untuk menyelesaikan persoalan ini, terdapat tujuh dimensi model promosi laktasi di tempat kerja yang dapat diterapkan. Pertama, kebijakan perusahaan memberikan waktu kerja yang fleksibel bagi pekerja perempuan untuk memompa ASI atau menyusui bayinya serta memperpanjang cuti menjadi lebih dari tiga bulan. Kedua, menyiapkan fasilitas ruang laktasi yang privat dan memenuhi standar kesehatan.
Ketiga, menyiapkan materi edukasi tentang laktasi, termasuk manajemen stres. Keempat, menjadikan semua pekerja sebagai target edukasi. Kelima, metode edukasi berupa bimbingan, konseling, maupun grup media sosial. Keenam, pengalokasian waktu konsul konselor minimal satu kali dalam seminggu. Ketujuh, penyiapan dokter perusahaan atau konselor laktasi di tempat kerja.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa fakta menarik saat perusahaan menerapkan promosi laktasi dengan tujuh dimensi tersebut. Di antara fakta itu adalah, pekerja perempuan dengan promosi laktasi di tempat kerja terbukti 8 kali lebih produktif mencapai target kerja, 6 kali lebih besar meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif, 51 persen memiliki kesehatan reproduksi yang lebih baik dan 91 persen pekerja menyusui jarang absen.
Menurut Ray, tubuh pekerja perempuan yang berhasil memberikan ASI eksklusif lebih sehat, tidak mudah stres, penundaan haid lebih panjang, dan berat badan tidak naik drastis, sehingga potensi terdampak berbagai penyakit lebih kecil. Selain itu, loyalitas pekerja perempuan pun turut terjaga. “Dengan status kesehatan lebih baik, produktivitas terjaga, seharusnya dilihat sebagai investasi perusahaan, bukan biaya,” katanya.
Khusus terkait kebijakan pemerintah, Ray juga mengusulkan agar pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dapat segera menyusun petunjuk teknis yang lebih detail mengenai model promosi laktasi di perusahaan.
Apalagi, Presiden Joko Widodo dalam pelantikan para menteri Kabinet Indonesia Maju, 23 Oktober 2019, telah mengamanatkan pencegahan stunting dan gizi buruk sebagai salah satu fokus demi menciptakan sumberdaya manusia maju dan unggul. “Selama ini rendahnya prevalensi ASI Eksklusif mendorong munculnya berbagai penyakit dan malnutrisi,” kata Ray.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi Ibu dan Anak (APPNIA) Rivanda Idiyanto juga mendukung model promosi laktasi di tempat kerja. Menurut dia, beberapa perusahaan yang menjadi anggota APPNIA telah menerapkan model promosi laktasi.
“Anggota kami juga menyiapkan ruang laktasi yang memadai dan higienis dan beberapa perusahaan di antaranya memberikan cuti melahirkan yang lebih panjang sampai dengan 6 bulan sebagai bentuk komitmen yang tinggi untuk mendukung keberhasilan ASI eksklusif," kata dia.
Beliau juga sepakat bahwa perusahaan harus menilai promosi laktasi sebagai sebuah investasi, bukan biaya. Rivanda mengakui, pekerja perempuan di perusahaan-perusahaan anggota maupun mitra APPNIA yang telah menerapkan promosi laktasi terbukti mampu mempertahankan produktivitasnya.