REPUBLIKA.CO.ID, NKHOTAKOTA -- Relokasi ratusan gajah ke hutan lindung di Malawi dilakukan demi memberi harapan baru bagi negara di Afrika bagian selatan ini. Namun, warga sekitar mulai mengalami sakit setelah kawanan gajah pergi.
Warga yang merasa tidak enak badan mengeluhkan sakit kepala, tubuh melemah, dan rasa sakit. Lalat tsetse dituding menjadi dalang yang membuat kondisi kesehatan warga merosot.
Lalat tsetse memang hidup berdekatan dengan gajah sebagai simbiosis mutualisme. Salah seorang warga setempat, Chiomba Njati, mengeluhkan penyakit yang dideritanya membuatnya tak bisa menghidupi keluarga.
Sebetulnya, Njati sudah dirawat sepekan di rumah sakit. Tapi, kondisi tubuhnya masih lemah.
"Saya merasa sangat lemah, saya bahkan tak bisa menanam, padahal kami kekurangan makanan," katanya dilansir AP, Kamis (31/10).
Jumlah lalat tsetse dikabarkan memang melonjak sejak 2015, saat gajah dan hewan lain dimasukan ke hutan lindung Nkhotakota. Dokter di rumah sakit setempat, Janelisa, menekankan perlunya mengontrol jumlah lalat tersebut.
"Satu lalat tsetse saja bisa menginfeksi banyak orang sekaligus. Jadi seharusnya kita tidak main-main menghadapi ini," ucapnya.
Sementara itu, pengelola hutan lindung, David Robertson mengakui masalah lalat tsetse sudah makin meresahkan sejak 2015. Ia merasa hal ini cukup ironis karena diiringi dengan kesuksesan hutan dalam meningkatkan populasi hewan.
"Dengan bertambahnya hewan, maka salah satu dampaknya bertambah juga lalat tsetse," jelasnya.
Guna mencegah penyakit karena lalat tsetse, pengelola hutan lindung sepakat melakukan kontrol. Langkah itu diambil agar jumlah lalat tsetse tak kian membahayakan.
Lalat tsetse merupakan vektor peyakit trypanosomiasis. Agar tak terusik bahayanya, warga Malawi direkomendasikanmenyiapkan pestisida dan jebakan yang menarik perhatian lalat tsetse.