REPUBLIKA.CO.ID, TEMANGGUNG -- Psikolog Mahalia Putik mengemukakan, kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak berlakang ini terjadi karena permasalahan kompleks. Ia mengatakan, orang tidak bisa menyalahkan suatu permasalahan sebagai penyebab dari keputusan mengakhiri hidup tersebut.
Mahalia mengatakan bunuh diri bisa dilakukan anak karena berbagai sebab, antara lain mengalami depresi, memendam permasalahan yang cukup berat, atau bahkan karena model. Konsultan psikologi sejumlah sekolah di Temanggung ini menyampaikan hal tersebut menanggapi kasus siswa SD warga Kelurahan Butuh, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, HAN (12) yang meninggal dengan cara gantung diri pada Senin (8/10).
"Model yang dimaksud adalah contoh bunuh diri yang dilihat dari sejumlah media seperti media sosial, internet, televisi, bahkan dari berita. Dengan membaca, melihat, dan mendengar kemudian mengikutinya tanpa memikirkan efek samping dari tindakannya itu," katanya.
Selain itu, menurutnya, tindakan bunuh diri juga mungkin dilakukan karena anak mengalami tekanan permasalahan, kemudian permasalahan itu tidak diutarakan kepada orang lain atau orang tuanya. Bisa jadi anak tidak punya tempat untuk menumpahkan semua permasalahan yang sedang dialami.
Agar anak tidak melakukan bunuh diri, hal yang paling mendasar yang harus diperhatikan ialah kembali kepada tatanan keluarga. Orang tua harus bisa menjalankan fungsi yang sebenar-benarnya sebagai orang tua, tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan materi, tetapi lebih bagaimana memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak.
"Orang tua harus proaktif mendengarkan kebutuhan-kebutuhan anak, mendengarkan, dan menjadi pendengar yang baik bagi anak. Minimal dengan langkah-langkah ini maka anak akan terlepas dari beban yang dipikulnya," katanya.
Orang tua, menurut Mahalia, harus bisa menciptakan komunikasi yang efektif dalam keluarga.Jjika hal-hal seperti ini disadari oleh semua keluarga dan menjadi kurikulum dalam rumah tangga maka apa pun permasalahan yang dihadapi oleh anak bisa diselesaikan dengan baik.
Mahalia mengimbau kepada orang tua untuk konsisten dalam mendampingi dan menjalin komunikasi bersama anak. Ayah dan ibu harus meluangkan waktu terbaik buat anak dan keluarga dan peka terhadap perubahan perilaku anaknya.
"Anak-anak itu tidak harus mengucapkan apa yang sedang dialaminya, dengan perilaku sebenarnya sudah tampak, misalnya selalu murung, menarik diri dari pergaulan teman-teman. Dari sini sebenarnya sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa anak sedang mengalami masalah," kata psikolog lulusan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini.
Ia menyampaikan saat ini media sangat terbuka sekali. Segala macam informasi bisa diakses dengan mudah, apalagi dengan semakin canggihnya alat komunikasi saat ini.
Media saat ini diibaratkan sebagai mata pisau. Di satu sisi mempunyai manfaat yang positif, namun di sisi lain juga bisa merugikan.
Oleh karena itu, menurut Mahalia, berita di media harus disikapi dengan bijak, yakni dengan menyaring informasi-informasi yang ada. Orang tua harus bisa mendampingi dan memberikan pengertian dan pemahaman kepada anak sehingga anak bisa menyaring informasi yang benar.
"Intinya komunikasi, mendampingi, dan memberikan perhatian kepada anak dan keluarga," katanya.
Menyinggung apakah ada tanda-tanda anak akan melakukan bunuh diri, dia mengatakan sulit untuk dideteksi, tetapi biasanya anak jadi murung, di lingkungan bermainnya tidak ceria lagi.
"Tetapi semua kembali pada orang tua, kalau orang tua proaktif sebenarnya hal seperti ini tidak perlu terjadi," katanya.