Kamis 10 Oct 2019 16:59 WIB

Pseudobulbar Affect, Gangguan Jiwa Sang 'Joker'

Joker selalu terlihat tertawa, bahkan dalam situasi yang tidak tepat.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nora Azizah
Joker (Ilustrasi)
Foto: Flickr
Joker (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada alasan mengapa Joker selalu tertawa dalam situasi tidak tepat. Karakter badut bernama asli Arthur Fleck di Kota Gotham tersebut mengidap gangguan jiwa bernama Pseudobulbar Affect (PBA).

Dilansir Republika dari berbagai sumber, Kamis (10/10), Pseudobulbar Affect (PBA) merupakan kelainan dari fungsi otak. Penyakit mental beberapa waktu lalu sempat menjadi topik pembicaraan yang ramai di media sosial.

Baca Juga

Menurut Dr. Merry Dame Cristy Pane, PBA dapat membuat pengidapnya menangis tanpa sebab yang pasti. Perubahan emosi yang tiba-tiba ini kerap membuat penderitanya merasa cemas dan depresi.

Hingga kini, penyebab PBA belum diketahui secera jelas. Namun para ahli meyakini bahwa PBA muncul akibat adanya kerusakan area korteks prefrontal, atau area otak yang berfungsi mengendalikan emosi. PBA juga dapat timbul akibat beberapa penyakit pada otak atau sistem saraf, seperti epilepsi, tumor otak, stroke, dan lainnya.

Tidak ada obat khusus yang disarankan untuk meredam gejala PBA. Meski begitu, jenis ibat antidepresan dan quinidine sulfate seperti dextromethorphan dianggap mampu mengendalikan frekuensi ledakan emosi penderita PBA. Selain mengonsumsi obat, penderita PBA juga dapat mengendalikan emosinya dengan cara sederhana seperti mengubah posisi duduk atau berdiri, membuat tubuh rileks, atau berbicara dengan orang terdekat.

 

Di sisi lain, Manajer Sistem Saraf Pusat Pharma Dynamics, Abdurahman Kenny mengatakan, resiko munculnya penyakit mental dapat disebabkan oleh hal-hal sepele yang sering tidak disadari. Misalnya, terlalu banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan dan berkutat dengan komputer atau perangkat gawai.

"Penelitian menunjukkan terjebak dalam lalu lintas yang padat, menghabiskan terlalu banyak waktu di dalam ruangan, penggunaan media sosial yang berat, kurang gerak dan bahkan bungkuk semua bisa menjadi pemicu yang meningkatkan risiko kita untuk penyakit mental," kata Kenny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement