REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Joker memang bukanlah film badut yang dapat membuat penonton tertawa. Sebaliknya, film arahan sutradara Todd Phillips ini malah punya potensi untuk memengaruhi kondisi psikologis penonton, baik remaja maupun dewasa.
Salah seorang penonton, Gary Chandra, mengaku sempat terinspirasi secara negatif dengan cara Joker melampiaskan kegusarannya terhadap pembawa acara talk show Murray Franklin (Robert De Niro). Usai menonton Joker, terbersit di benaknya untuk melakukan hal serupa pada orang yang pernah mengiris hatinya.
Teman Gary yang mendengar ide buruk itu terperangah. Dia tak menyangka akan mendengar kengerian seperti itu keluar dari mulut sahabatnya.
Bagaimana pandangan psikiater terhadap apa yang dirasakan Gary setelah menonton Joker? Menurut psikiater, tak perlu khawatir berlebihan terhadap dampak menonton Joker. Tenang saja, tak semudah itu orang untuk menjadi seperti sosok yang diperankan Joaquin Phoenix dengan ciamik itu.
"Yang ada hanya efek jangka pendek, jadi kayak ada stimulasi kemudian muncul ide atau pemikiran, tapi sesaat aja," kata psikiater Nova Riyanti Yusuf saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/10).
Nova menjelaskan, film tak sontak membuat orang akan berperilaku serupa dengan tokoh antagonisnya. Lain halnya jika seseorang menyaksikan film atau permainan yang mengandung muatan kekerasan hingga sadistik setiap hari.
"Ibaratnya, ada dosisnya," ungkap psikiater yang akrab disapa Noriyu ini.
Sejalan dengan itu, Noriyu mengimbau masyarakat untuk mencermati rating film. Dia mengatakan, rentang usia yang ditetapkan untuk suatu film sudah mengikut kajian dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Menurutnya, masyarakat ada baiknya juga untuk membahas secara positif film Joker atau film lain yang serupa bersama dengan ahli. Dia mengatakan, hal itu agar penonton mendapatkan pencerahan psikologis dari diskusi yang dilakukan.
"Lebih bagus lagi itu didiskusikan secara positif di masyarakat tentang gangguan jiwa, jadi jangan diskusi sotoy, tapi diskusi dengan ahli," katanya.
Lebih jauh, Noriyu menjelaskan bahwa film memang dapat mempengaruhi seseorang. Terlebih, dia mengatakan, individu yang sedang dalam masa pertumbuhan atau pada usia 18 tahun.
Dia mengungkapkan, setiap manusia menjalani pembelajaran sosial. Mereka mempelajari suatu hal berdasarkan pengamatan.
"Jadi reward atau punishment bukan sesuatu yang dia pelajari langsung, tapi dengan mengamati saja. Melihat film adalah proses pembelajaran sehingga memang harus diawaspadai yang disebut dengan imitasi," katanya.
Menurut Noriyu, dampak terlalu banyak menyaksikan film yang mengandung kekerasan akan memicu seseorang untuk menyelesaikan konflik dengan kekerasan bahkan hingga melakukan tindakan yang lebih fatal. Parahnya, hal itu akan dianggap wajar oleh individu yang telah terkontaminasi konten film tersebut.
"Ini usia rentan jadi mengacaukan proses pemikirannya, kemudian pembentukan kepribadian, proses pembelajaran. Makanya usia-usia itu harus ada edukasi yang baik," ujarnya.