Jumat 09 Aug 2019 17:51 WIB

Ini Cara Mengenali Gejala Autisme Sejak Dini

Umumnya di Indonesia orang tua sering terlambat mengena gejala autisme sejak dini

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang anak berkebutuhan khusus (autis) mendapat terapi sensory integrasi dari terapis di Pusat Layanan Autis (PLA), Solo, Jawa Tengah, Senin (2/4).
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Seorang anak berkebutuhan khusus (autis) mendapat terapi sensory integrasi dari terapis di Pusat Layanan Autis (PLA), Solo, Jawa Tengah, Senin (2/4).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Austisme merupakan gangguan perkembangan otak ditandai kesulitan penderita interaksi sosial. Lalu, keterbatasan komunikasi verbal dan nonverbal, gangguan perilaku minat dan aktivitas terbatas dan berulang.

Saat ini, angka kejadian autisme semakin meningkat secara global. Center for Disease Control and Prevention menyebutkan prevalensi kejadian penderita meningkat. 

Dari 1 per 150 populasi pada 2000, jadi 1 per 59 pada 2014. Di Indonesia, diperkirakan sekitar empat juta orang menderita austisme atau sering disebut gangguan spektrum austisme.

Pakar kesehatan anak dari Fakultas Kedokteran, Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat (FKKMK), Mei Neni Sitaremsi mengatakan, penyebab autisme multifaktor. 

Mereka merupakan kombinasi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Tapi, yang jelas, faktor genetik berkontribusi kepada autis seperti hamil pada usia tua.

"Atau, waktu hamil terinfeksi rubella, saat hamil usia masih muda, terkena toksin dan sebagainya," kata Sitaresmi saat mengisi Seminar Autisme Spectrum Disorder, Kamis (8/8).

Ia menilai, umumnya di Indonesia, orang tua terlambat menangani anaknya yang terkena autisme. Padahal, sebelum umur anak sampai dua tahun harus diperiksa ke petugas kesehatan dan psikolog.

Namun, dari gejala yang ditunjukkan sebenarnya dapat diamati bila anak terkena autis. Sitaremsi menekankan, gejala awal biasanya anak cenderung diam dan sering main sendiri.

Bila sejak awal anak sudah diperiksa dan didiagnosa terkena autis bisa dilakukan tata laksana. Serta, prosedur penanganan kesehatan yang lebih baik dengan melibatkan dokter, psikolog dan keluarga.

Sebab, lanjut Sitaremsi, penderita autis umumnya sering mengalami gangguan keterbatasan kemampuan intelektual 45-60 persen. Mulai mengalami kejang-kejang.

"Gangguan pencernaan, gangguan tidur dan gangguan sensorik serta gangguan pemusatan perhatian dan perilaku," ujar Sitaremsi.

Pakar autis dari Lembaga Autism Initiative at Mercychurst (AIM), Universitas Mercychurst-AS, Bradly McGarry menilai, autisme tidak bisa disembuhkan. Tapi, perlu dirubah cara pandang masyarakat.

"Prinsipnya bukan untuk disembuhkan, mereka memiliki kemampuan khusus, sehingga perlu diterapi dan penanganan khusus," kata Bradly.

Ia menambahkan, keterbatasan kemampuan yang dimiliki anak autis dirasa tidak jadi penghalang bagi mereka memperoleh pendidikan. Termasuk, sampai ke jenang yang tinggi.

Bradly merasa, kampus perlu sediakan fasilitas khusus dan sistem khusus bagi mahasiswa autis ini. Sebab, diperlukan dukungan agar mereka bisa masuk kampus selayaknya calon mahasiswa lain.

"Tidak hanya dukungan akademis tapi non-akademis, hingga mereka bisa menyelesaikan pendidikan dengan baik," ujar Bradly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement