REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Disabilitas psikososial adalah gangguan dalam proses berpikir, berperasaan, berperilaku, dan berinteraksi sosial. Menurut Ketua Umum Alpha-I Indonesia dan Ragam Institute, Yossa Nainggolan, anak dengan disabilitas psikososial adalah seseorang berusia kurang dari 18 tahun yang menunjukkan tanda-tanda tersebut sehingga aktivitas, partisipasi, dan perannya sebagai anak menjadi terganggu.
"Banyak orang yang tidak tahu tentang disabilitas psikososial. Padahal pemahaman tentang psikososial sangat penting," tuturnya.
Dia menyebut kasus seorang perempuan yang marah-marah sambil membawa anjing ke dalam masjid sebagai contoh. Menurut Yossa, psikiater sudah menyatakan bahwa perempuan itu adalah seorang penyandang disabilitas psikososial.
"Di balik pro dan kontra terhadap kejadian itu, orang-orang jadi mencari tahu tentang apa itu disabilitas psikososial," katanya.
Yossa mengatakan bahwa pandangan buruk, stigma, serta perlakuan yang membeda-bedakan membuat anak dengan disabilitas, termasuk psikososial, menjadi kelompok yang rentan. Mereka rentan mengalami tindak kekerasan di rumah, lingkungan, atau sekolah.
Mereka juga rentan tidak mendapatkan hak-haknya di bidang pendidikan dan kesehatan. Agar masyarakat semakin memahami apa itu disabilitas psikososial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan Alpha-I dan Ragam Institute meluncurkan buku panduan Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial.
"Buku ini merupakan upaya pemenuhan hak anak. Kami di Kementerian akan membuat kebijakan implementatif sehingga bisa berdampak pada anak disabilitas," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar dalam acara peluncuran buku panduan di Jakarta, Kamis (25/7).
Nahar mengatakan anak penyandang disabilitas psikososial harus dijangkau agar hak-haknya tetap terpenuhi. Selain itu juga agar anak dengan disabilitas psikososial tidak mengalami diskriminasi.