Rabu 24 Jul 2019 07:07 WIB

Pernikahan Dini Sisakan Beragam Masalah

Menikah bukan semata membangun relasi antara laki-laki dan perempuan.

Rep: Muhammad Riza Wahyu Pratama/ Red: Ani Nursalikah
Pernikahan (ILustrasi)
Foto: News
Pernikahan (ILustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Susanto menyayangkan maraknya pernikahan dini. Bahkan berdasarkan catatannya, pernikahan dini memiliki kencederungan semakin meningkat.

Ia menggarisbawahi, pernikahan dini berdampak pada tidak terpenuhinya hak anak. Ia menjelaskan, setidaknya terdapat empat masalah yang muncul dari fenomena tersebut.

Baca Juga

Pertama, masalah pendidikan. Jika seseorang menikah dini, maka hampir dipastikan ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya.

Kedua, masalah pengasuhan anak. Pelaku nikah dini dikhawatirkan belum memiliki kesiapan mental untuk membesarkan anak. Oleh karena itu, rentan terjadinya tindakan yang tidak diinginkan, seperti kekerasan dalam pengasuhan anak.

"Tak bisa dibayangkan, bagaimana anak usia di bawah 16 tahun harus membesarkan anak," kata Susanto saat ditemui di kantornya, Senin (22/7).

Ketiga, usia perkawinan. Anak yang menikah terlalu dini, sebenarnya ia belum memiliki mental yang matang sehingga ia rentan bercerai.

Keempat, kesehatan reproduksi. Anak yang menikah terlalu dini berpotensi mengalami masalah reproduksi karena proses perkembangan fisiknya belum berjalan maksimal.

Menanggapi permasalahan tersebut, Susanto berpandangan penyelesaian permasalahan itu membutuhkan upaya bersama. Pemerintah sebaiknya segera menyiapkan regulasi yang baik tentang aturan pernikahan.

Ia menjelaskan, hingga saat ini, penanganan perlindungan anak, khususnya masalah pernikahan dini menjadi kewenangan beberapa tingkatan pemerintahan. "UU Pemerintahan Daerah itu menegaskan perlindungan anak menjadi kewajiban daerah,"ujarnya.

Sebagaimana tertulis dalam lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam huruf H disebutkan, pembagian urusan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dilakukan di tiga tingkatan pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kewenangan tersebut termasuk poin yang spesifik soal anak, yakni kualitas keluarga, sistem data gender dan anak, pemenuhan hak anak, dan perlindungan khusus anak.

Selanjutnya, ketika pemerintah telah melaksanakan tugasnya dengan baik, bukan berarti masalah penikahan dini selesai begitu saja. "Bagaimana misalnya, negara melarang kalau orang tua permisif?" kata Susanto.

Maka langkah selanjutnya yang diperlukan adalah mencari model-model pencegahan. model pencegahan itu dapat melibatkan berbagai pihak, mulai dari masyarakat, budaya, agama, dan lain sebagainya. Ketua Fatayat Nahdlatul Ulama, Anggia Ermarini turut mengungkapkan hal yang sama. Ia turut prihatin dengan fenomena pernikahan dini. Ia menyatakan, Fatayat berkomitmen menghentikan kecederungan pernikahan dini.

Anggia menjelaskan, selayaknya pernikahan dipersiapkan dengan baik. Menikah bukan semata membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan sangat berkaitan erat dengan kesiapan psikologis, biologis, dan juga sosiologis.

"Kalau Fatayat sebenarnya sepakat usia minimal itu 20 tahun," kata Anggia saat ditemui Republika.co.id seusai acara hari lahir ke-21 PKB.

Pada akhirnya, Anggia berharap hari anak nasional seharusnya dijadikan sebagai momentum introspeksi bersama. "Mari bersama-sama melihat bagaimana pola asuh kita selama ini. Sebenarnya anak adalah titipan," ujar Anggia.

Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA). Selama 2018, tercatat ada 13.251 putusan dispensasi perkawinan anak. Data tersebut merupakan rekap dari data seluruh Pengadilan Agama di Indonesia.

Sedangkan data United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) 2013. Disebutkan, setidaknya terdapat 457,6 ribu perempuan Indonesia usia 20-24 tahun yang mengalami pernikahan dini. Mereka menikah sebelum usia 15 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement