REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan Financial Technology (fintech) di Indonesia kian pesat, seakan menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang ‘haus’ akan pembiayaan dan pinjaman. Namun kemudahan yang ditawarkan fintech tak jarang membuat masyarakat cepat tergiur tanpa berpikir kritis apakah fintech tersebut legal atau illegal.
Director of Corporate Affairs & Public Relations Akulaku Indonesia Anggie Setia Ariningsih mengungkap beberapa cara bijak menggunakan jasa pelayanan platform fintech. Pertama, pastikan platform fintech tersebut telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) caranya dengan mengecek laman http://www.ojk.go.id/.
Setelah ada kepastian bahwa fintech terdaftar, tips kedua, ketahui kebutuhan apa yang akan dicicil menggunakan jasa pelayanan pembiayaan dan kredit fintech. Dia menegaskan, pengelolaan keuangan yang bijak akan mendukung terciptanya kultur fintech yang sehat. Karena pengelolaan keuangan yang bijak juga memperlancar pembayaran cicilan.
“Pokoknya kita hanya boleh membeli atau mengkredit barang sebanyak 30 sampai persen dari gaji bulanan. Jadi Anda harus tahu dulu kebutuhannya apa, jangan sampai tidak bijak dalam pengelolaan keuangan,” kata Anggie di Jakarta belum lama ini.
Selanjutnya ketiga, pertimbangkan juga bunga yang dipasang platform fintech tersebut. Jangan sampai, masyarakat terbutakan dengan kemudahan-kemudahan kredit yang ditawarkan platform fintech tanpa mengetahui bunga pinjamannya.
Menurut Anggie, edukasi dan literasi keuangan sangatlah penting disampaikan kepada masyarakat. Sehingga ke depan masyarakat bisa lebih kritis dan cerdas dalam memanfaatkan layanan teknologi finansial yang kini tengah berkembang di masyarakat.
“Jangan deh, mentang-mentang mudah pinjam uang terus pengguna pinjam ke 10 platform fintech misalnya. Itu kan sebenarnya sebab musabab kenapa fintech mendapat stigma negatif, padahal nyatanya fintech itu telah memberikan banyak manfaat. Sama seperti halnya GoJek, Grab, Uber yang memanfaatkan teknologi,” kata dia.