REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr drg Amaliya MSc, PhD, berpandangan konsep pengurangan risiko melalui produk tembakau alternatif akan berdampak lebih efektif dalam mengatasi masalah rokok. Apalagi jika dibandingkan dengan larangan penggunaan rokok konvensional.
"Perilaku merokok tidak serta-merta dapat diubah secara singkat. Dulu pendekatannya seorang perokok itu berhenti atau mati, berhenti atau kena penyakit. Namun, ternyata sekarang konsep tersebut banyak tidak berhasil dan ditengarai jumlah perokok makin banyak," kata Amaliya saat menjadi narasumber dalam diskusi media, di Denpasar, Selasa (14/5).
Oleh karena itu, belakangan ini mulai diterapkan konsep berhenti merokok atau beralih ke produk tembakau alternatif yang bahayanya sudah turun lebih banyak dibandingkan penggunaan rokok konvensional. "Pemerintah dapat belajar dari beberapa negara yang telah menerapkan pendekatan ini, salah satunya Inggris yang terbukti berhasil menerapkan konsep pengurangan risiko secara efektif," ujarnya pada diskusi bertajuk Wujudkan Bali Bersih Melalui Ekosistem yang Sehat, Pengurangan Risiko Tembakau sebagai Solusi Mengatasi Masalah Rokok di Bali itu.
Dengan menerapkan konsep pengurangan risiko dan berkat adanya produk tembakau alternatif, Inggris telah sukses menurunkan jumlah perokoknya hingga 14,9 persen pada 2017. Sebelumnya pada 2012, jumlah perokok di Inggris mencapai 19,3 persen dari total populasi dewasa.
Amaliya menambahkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan Public Health England yakni semacam komunitas atau persatuan dokter-dokter kesehatan masyarakat di Inggris, mereka mengestimasi bahaya yang berkurang dengan memakai produk tembakau alternatif ini hingga 95 persen.
Produk tembakau alternatif bahayanya berkurang karena tidak melalui proses pembakaran, melainkan pemanasan, sehingga menghasilkan uap bukan asap. Dengan demikian, produk tersebut tidak menghasilkan TAR dan berbagai zat kimia berbahaya bagi tubuh manusia.
"Memang tetap ada risiko, dibandingkan dengan benar-benar berhenti merokok yang risikonya nol," ucapnya yang juga Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) itu.
Akademisi dari Universitas Padjajaran itu mengemukakan dalam satu batang rokok konvensional sedikitnya ada 4.000 zat beracun yang dapat menyebabkan kanker (karsinogenik). Untuk di Indonesia, perbandingan jumlah perokok dengan yang tidak, sudah 1 berbanding 5, dan 67 persennya laki-laki.
"Jumlah perokok di Indonesia, terbesar ketiga di dunia. Kalau dapat mengurangi dampak penyakit yang ditimbulkan akibat rokok yang dibakar, tentu akan sangat bagus. Kalau tidak bisa berhenti, beralihlah, cari alternatif lain yang bisa mengurangi bahaya," ucapnya.
Berdasarkan data BPS Bali pada 2018, angka prevalensi perokok di Bali tercatat mengalami peningkatan. Angka perokok remaja dari 2016 berjumlah 11,2 persen naik pada 2017 hingga 14,1 persen.
Di sisi lain, Pemprov Bali tengah berupaya mewujudkan program Bali Bersih melalui visi "Nangun Sat Kerthi Loka Bali" yang dicanangkan oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan Wagub Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian dan pencarian solusi, terutama pada sektor lingkungan dan kesehatan, dari berbagai pemangku kepentingan agar keseimbangan alam serta kesejahteraan masyarakat Bali.
Sementara itu Ketua Asosiasi Vaporizer Bali (AVB) I Gde Agus Mahartika mengatakan masyarakat Bali terutama perokok dewasa berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai konsep pengurangan risiko dan produk tembakau alternatif. Hal ini sesuai dengan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Konsep pengurangan risiko bukan hanya terkait kesehatan dan keselamatan, melainkan terdapat aspek lain yang sangat penting, yaitu hak asasi manusia dan hak konsumen," ujar Gde Maha.
Dia meminta Pemprov Bali juga memperhatikan dari sisi ekonomi, sosial, dan hukum dari produk tembakau alternatif. Kehadiran produk tembakau alternatif turut mendorong pertumbuhan UMKM di Bali yang berdampak terhadap terbukanya lapangan pekerjaan baru.
Selain itu, dari sisi aturan, diharapkan produk tembakau alternatif diatur secara terpisah dan tidak seketat rokok. "Kami berharap Pemprov Bali dapat segera membuat aturan khusus untuk produk tembakau alternatif, termasuk peringatan kesehatan yang berbeda dari rokok, penjualan, promosi, iklan, sponsorship, tempat penggunaan, serta batasan usia penggunaan sehingga para produsen dan konsumen mendapatkan kepastian hukum," ujarnya.
Dalam diskusi tersebut juga menghadirkan dua narasumber lainnya yakni drg Dedhy Widyabawa, SPerio (pakar kesehatan gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar) dan pakar hukum Rambo Sanger.