Selasa 14 May 2019 15:06 WIB

Mengupas Sejarah Kuliner Pecel di Indonesia

Kuliner pecel di masa lampau merujuk pada teknik memasak melumuri atau menyiram.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Indira Rezkisari
Pecel sayur merupakan bentuk modifikasi dari pecel ayam yang lebih dulu ada.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pecel sayur merupakan bentuk modifikasi dari pecel ayam yang lebih dulu ada.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Siapa yang tak kenal kuliner tradisional pecel? Hampir sebagian besar masyarakat terutama di Pulau Jawa tentu pernah melihatnya. Bahkan, beberapa di antara masyarakat pernah ada yang menyicipinya.

Antropolog dari Universitas Brawijaya (UB), Ary Budiyanto menjelaskan, kuliner pecel di masa lampau lebih sering merujuk pada teknik memasak seperti melumuri atau menyiram. Makna ini telah tertera dalam sejumlah tulisan kuno termasuk pada naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian (nomor Kropak 630). Naskah ini ditulis sekitar 1440 Saka atau pada 1518 Masehi (M).

Baca Juga

Menurut Ary, pecel dalam teks-teks kuno biasanya selalu disandingkan dengan ayam jadi. Beberapa penyebutannya seperti pecel ayam, pecel dhere atau babon muda. "Atau hayam danten dengan saus atau sambal yang berbahan salah satunya santan lalu dipanggang," kata Ary kepada Republika, Selasa (14/5).

Berdasarkan keterangan ini, saus atau sambal dalam kuliner tersebut kini dikenal dengan bumbu pecel. Alias, bumbu yang digunakan untuk kuliner pecel-pecelan. Atau, bisa juga bumbu siraman ayam untuk dipanggang.

"Jadi tidak ada hubungannya dengan pecel sayur kah? Nah begini cerita selanjutnya!" jelas Ary.

Sayuran yang disajikan mentah di abad kuno hingga Centhini lebih dikenal dengan nama lelawaran (lawar). Sementara sayuran matang (kukus/godog) dikenal hingga kini sebagai kuluban. Kuluban di sini serupa dengan istilah urapan, godhangan, atau meniran.

Di era kini, ia menambahkan, terdapat bahan sayur mentah di Jawa yang disebut trancam. Semua sesajian tersebut biasanya menggunakan parutan kelapa agak tua sebagai penyedap. Kadang parutan kelapa agak tua ini dikukus dahulu, baik hanya dicampur garam atau gula merah maupun terasi atau belacan.

Sementara untuk lawar biasa, kata dia, ini dicampur dengan darah. Kuliner ini masih mudah dijumpai di Bali sampai sekarang. "Jadi bilamana ada perubahan penyajian menjadi sayuran yang dilumuri atau siram dengan sambal pepecelan, itu adalah suatu proses yang wajar," jelasnya.

Menurut Ary, perubahan penyajian tak lepas ritual mengonsumsi pecel ayam/pitik/dhere. Kuliner ini biasanya disajikan bersama dengan lawar atau kuluban. Lalu apabila bahan ayam tidak tersedia, maka hanya kuluban dan bumbu pecel yang tersisa.

"Maka jadilah pecel jejanganan alias sayuran. Sambal atau saus bumbunya pun pastinya disebut juga dengan istilah bumbu pecel alias bumbu siram," ujar Ary.

Di sisi lain, Ary sendiri tak tahu persis bumbu pecel ayam sudah menggunakan kacang atau tidak di masa lalu. Namun di sini dia mencoba merujuk salah satu bumbu yang masih digunakan sampai saat ini. Antara lain serundeng atau parutan kelapa yang disangrai.

Serundeng di sini juga bisa berupa parutan kelapa yang ditumbuk halus. Bumbu ini diperuntukkan sebagai saus atau sambel lumuran. Atau, terkadang memakai tahi minyak kelapa alias blondo.

"Lalu darimana pastinya bumbu pecel kacang yang kita kenal itu berasal akarnya?" terang Ary.

Ary mengutarakan, sejak zaman kuno hingga masa Centhini terdapat masakan yang dikenal dengan rurujakan atau rujak. Kuliner ini bisa berbahan buah maupun sayur atau campuran keduanya seperti di rujak cingur. Menu ini biasanya berbumbu gula merah, bawang putih, kencur, daun jeruk purut, terasi atau petis, asam jawa dan garam.

"Dengan tambahan wijen, inilah yang mungkin nantinya berganti kacang menjadi asal muasal bumbu pecel kacang yang legendaris," tambahnya.

Di sisi lain, Ary berpendapat, bumbu pecel kacang bisa juga tercipta dari pengaruh luar negeri. Lebih tepatnya, pada perjumpaan saus kacang Portugis dengan menu serupa dari Cina. Saus kacang Cina menggunakan kecap dan/atau petis.

"Kemudian bertemu dalam dapur kuliner orang Jawa sehingga terciptalah: Karedok dan Kethoprak Betawi, Gado-gado, Tahu Tek Jawa Timuran, dan Tahu Gimbal Semarangan, atau varian kuliner lain yang dikenal dengan nama nasi/lontong tahu kecap," tegas Ary.

Kuliner-kuliner tersebut, menurut Ary, bisa jadi  bentuk pecel baru. Dengan kata lain, menu hibrid sekaligus kosmopolit di Jawa abad 19-an.  "Perlu diketahui pula ada kuliner yang telah lama hilang yakni plencing yaitu pecel sayur dengan bumbu rujak seperti di atas yang dikucurin jeruk pecel/nipis. Rujak cingur bisa jadi adalah varian dari inovasi semacam ini," terang Ary.

Selain itu, Ary juga menemukan catatan menarik lainnya terkait pecel. Dia menemukan, bahwa penjaja atau penjual rujak, urapan, dan pecel di masa dahulu biasanya satu paket. Dari sini, ia menduga, kalangan tersebut sebagai pencipta bumbu kacang untuk pecel sayur.

"Pecel sayur yang mungkin mulanya digado kemudian disajikan dengan teman lontong, kupat, atau nasi," jelas Ary.

Di kesempatan tersebut, Ary juga mencoba menjelaskan, waktu penyajian pecel di masa lampau. Berdasarkan naskah kuno, pecel dimasukkan sebagai makanan pesta. Hal ini bukan berarti tidak hadir dalam menu sehari-hari sehari-hari.

Menurut Ary, pesta ritual di kampung maupun kota pada masa kuno bisa menjadi mingguan, bahkan harian. Oleh sebab itu, pecel kemungkinan akan selalu hadir di sesajian pesta atau ritual. Apalagi, kata dia, pecel di Jawa dianggap salah satu uba rampe (perlengkapan--red) dalam selametan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement