Jumat 26 Apr 2019 15:23 WIB

Mitos dan Hoaks Soal Imunisasi

Pakar sarankan tak perlu komentari atau bahkan baca hoaks imunisasi.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Petugas kesehatan memberikan vaksin Measles Rubella (MR) kepada siswa saat Kampanye Imunisasi Campak dan MR di SMPN 9, Bandung, Jawa Barat (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petugas kesehatan memberikan vaksin Measles Rubella (MR) kepada siswa saat Kampanye Imunisasi Campak dan MR di SMPN 9, Bandung, Jawa Barat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang tua memutuskan untuk menolak imunisasi pada anaknya lantaran banyak mitos dan berita hoaks yang beredar mengenai imunisasi. Apa saja sebenarnya mitos dan hoaks mengenai imunisasi? Apakah fakta imunisasi sebenarnya?

Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Prof Soedjatmiko, SpA(K), MSi, mengakui hoaks tentang vaksin banyak beredar di masyarakat. Kabar yang menyesatkan tersebut membuat sejumlah masyarakat memilih untuk tidak memberikan vaksin kepada anak mereka.

Baca Juga

Hoaks yang beredar misalnya vaksin menyebabkan autis, menyebabkan lumpuh, mengandung racun, vaksin tidak bermanfaat dan lainnya. "Ini adalah pendapat pribadi. Bukan penelitian tim ahli," ujarnya.

Imunisasi tidak aman

Informasi hoaks yang beredar adalah imunisasi tidak aman. Padahal ahli-ahli di banyak negara mengatakan bahwa imunisasi ini aman. Banyak penelitian simpulkan imunisasi penting, aman dan bermanfaat.

Imunisasi juga mencegah penyakit berat, cacat dan kematian bayi, anak sekolahan juga remaja. "Maka semua negara imunisasi lengkap, teratur. Bayi sampai remaja," ujarnya.

Semua vaksin yang memiliki izin telah diuji berkali-kali sebelum diperbolehkan untuk digunakan pada manusia.

Efek samping imunisasi

Peneliti juga selalu memonitor setiap informasi yang didapat mengenai efek samping yang muncul setelah pemberian vaksin. Sebagian besar efek samping yang timbul setelah pemberian vaksin hanyalah efek samping yang ringan. Penderitaan yang dialami oleh karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin lebih berat dibandingkan pemberian vaksin itu sendiri.

Efek samping sesudah imunisasi seperti gatal, bengkak, nyeri, merah, pusing dan demam merupakan rekasi normal sesudah imunisasi. Ini disebut Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI).  

Vaksin menyebabkan autisme

Pada tahun 1998 terdapat sebuah penelitian yang mengatakan bahwa terdapat kemungkinan hubungan antara pemberian vaksin MMR dengan autisme, namun ternyata penelitian tersebut salah dan hanyalah sebuah penipuan. Penelitian tersebut telah ditarik dari jurnal yang mempublikasikannya pada tahun 2010.

Sayangnya, hal tersebut sempat membuat kepanikan pada masyarakat sehingga pemberian vaksin berkurang dan muncul wabah. Tidak ada bukti ilmiah yang mengatakan ada hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.

Vaksin mengandung pengawet yang beracun

Setiap vaksin mengandung pengawet untuk mencegah pertumbuhan bakteri ataupun jamur. Pengawet yang paling sering digunakan adalah thiomersal yang mengandung ethyl mercury. Ethyl mercury sendiri tidak memiliki efek buruk terhadap kesehatan. Merkuri yang beracun adalah methyl mercury yang memiliki efek beracun terhadap sistem saraf manusia sehingga tidak digunakan sebagai pengawet.

Ethyl mercury sendiri telah digunakan sebagai pengawet vaksin selama 80 tahun lebih dan tidak ada bukti ilmiah yang mengatakan bahwa thiomersal yang mengandung ethyl mercury berbahaya.

"Ethyl mercury (bukan methyl mercury) dalam vaksin sangat rendah, tidak melebihi batas yabg diijinkan," ungkapnya.

Prof Soedjatmiko menyarankan untuk menghadapi hoaks anti-imunisasi, sebaiknya jangan dibaca dan jangan disebarluaskan. Selain itu jangan dikomentari dan jangan dilawan karena akan makin berisik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement