REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam ilmu manajemen uang ada banyak teknis atau cara mengelola dan mengatur uang. Secara umumnya cara tersebut dibagi menjadi dua aliran mainstream.
1. Aliran Analog
Aliran analog atau aliran konservatif, ini yang paling populer yakni MBA (Management By Amplop), bagaimana membagi pos-pos keuangan dalam banyak amplop-amplop layaknya Surat Menyurat. Di luar dari itu ada MBF (Management By Folder), MBL (Management By Laci), MBT (Management By Topples) dan lainnya, yang intinya masih menggunakan kertas atau alat/barang yang kelihatan.
Bisa dipegang, kelihatan dan mudah dipindah-pindahkan secara fisik.
2. Aliran Digital
Aliran Digital atau aliran milenial ini yang paling populer, yakni MBA (Management By Account), bagaimana membagi pos-pos keuangan dalam banyak rekening tabungan di bank atau di kantong fintek.
Dari yang tercatat di bank, baik ada atau tidak ada buku tabungan, hingga sekarang dalam bentuk dompet elektronik atau uang digital. Tentu semua hal di atas, ada plus dan minusnya, seperti ketika kita membawa uang tunai dan uang non-tunai.
Pada uang tunai, di satu sisi kita percaya diri karena adanya uang di kantong, sehingga bisa membeli apapun tanpa takut tidak bisa diterima di beberapa tempat. Di sisi lain jika kebanyakan uang tunai bisa membuat kita terlalu percaya diri dan mengundang kerawanan, misalnya kecurian.
Sedang pada uang non-tunai, keterikatan kita pada teknologi (ponsel, EDC, dan lainnya) tidak bisa dielakkan. Apalagi jika saldonya cukup banyak, maka shopaholic tanpa harus melihat dan memegang barang riilnya, hanya visual lewat layar ponsel saja akan membuat ketagihan belanja tanpa terencana.
Belum lagi jika mendatangi pusat-pusat perbelanjaan. Ketika mau bayar, ponsel tiba-tiba error, atau dari sisi mesin EDC-nya tidak mau menerima dan lainnya.
Maka rasa malu akan menghantui di hadapan banyak orang. Artinya, ketergantungan 100 persen pun pada teknologi, juga bisa membahayakan.
Terlepas dari plus minus dua aliran di atas, ada satu lagi aliran yang mengakomodir keduanya. Yakni aliran kombinasi, yang menggunakan rekening dan amplop.
Aliran Kombinasi
Inti dari prinsip aliran kombinasi adalah meminimalkan risiko. Tidak ada jaminan, bahwa uang akan aman 100 persen ketika ditaruh di bank.
Bahkan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) pun hanya menjamin maksimal Rp 2 miliar dari tabungan nasabah. Belum lagi teknis pengembaliannya yang relatif lama, jika bank ada masalah besar.
Nah, poin penting aliran kombinasi ini dibuat agar uang kita bisa terdistribusi dalam 3 aset, yaitu:
1. Aset Lancar
2. Aset Guna Pakai
3. Aset Investasi.
Pertanyaannya, mungkinkah kita bisa hidup dari 50 persen penghasilan (income), apalagi jika kita masih berstatus karyawan yang pendapatannya sangat terbatas?
Jika kita bilang tidak bisa, ya pasti tidak bisa. Jika kita sudah pernah melakukannya dan ternyata tidak bisa, ya pasti tidak akan bisa mewujudkannya.
Tapi jika kita mau komitmen dan mau membayar harganya di depan, Insya Allah BISA.
Caranya:
1. Yakini
Selalu ada jalan bagi yang mau berubah. Perubahan itu menuntut keistiqomahan kita dalam menjalaninya. Walau awalnya pahit, tapi jika terus konsisten, maka kita akan kebal dari rasa pahit tersebut.
2. Kuasai Ilmunya
Semangat saja tanpa ilmu, ibarat naik motor tanpa helm pelindung. Semakin banyak ilmu yang kita dapatkan dan praktekkan, maka helicopter view kita akan semakin tinggi.
3. Selalu lakukan Kaizen
Setelah praktik, tahu hasilnya maka teruslah bertumbuh dan mengevaluasi sejauh mana ilmu dan praktik keuangan kita berjalan. Lakukan perbaikan terus menerus (Kaizen).
Berikut tata cara mengatur keuangan ala aliran kombinasi ini.
1. Buat dua rekening terpisah, yang pertama diperuntukkan untuk bisnis atau rekening penampung dari gaji/fee/komisi. Yang kedua buat rekening yang diperuntukkan untuk rekening pribadi/keluarga.
a. Rekening Sehari-Hari
50 persen kebutuhan hidup seperti makan, transportasi, utang dan lainnya.
b. Rekening Penampung (catat setiap pembagiannya)
10 persen SOUL (SOcial-spiritUaL) misalnya zakat, sedekah, infaq, perpuluhan, derma, orang tua, mertua, teman/saudara dan lainnya.
10 persen menabung misalnya dana kesehatan, dana darurat, menikah, pendidikan, naik haji dan lainnya.
10 persen investasi untuk kemerdekaan keuangan misalnya investasi jangka panjang, membeli aset, syirkah dan lainnya.
10 persen investasi dari leher ke atas seperti BKP/membeli buku, kaset/video/podcast, mengikuti pertemuan-pertemuan bisnis, pengembangan diri dan lainnya.
2. Buat amplop yang diperuntukkan untuk gaya hidup.
Amplop
10 persen gaya hidup contohnya menghargai diri sendiri karena sukses mendisiplinkan pengaturan keuangan, me time, senang-senang yang positif, liburan keluarga dan lainnya.
3. Konsistenlah dalam menjalaninya dan evaluasi setiap pekan atau minimal 1 bulan sekali.
Jika ini menjadi kebiasaan positif, maka lanjut ke fase ke-2, hitung harta bersih (net worth) tiap tahun. Mungkin awalnya hidup dari 50 persen penghasilan terasa berat, itu wajar, apalagi jika arus keuangan minus.
Untuk yang masih minus, usahakan hidup di bawah pendapatan. Sembari terus memperbaiki diri, coba cari alternatif potensi apa saja yang bisa menghasilkan uang. Artinya multi source of income mesti menjadi target kehidupan kita.
Kolom ini diasuh oleh WealthFlow 19 Technology Inc.,Motivation, Financial & Business Advisory (Lembaga Motivasi dan Perencana Keuangan Independen berbasis Sosial-Spiritual Komunitas). Pertanyaan kirim ke email : [email protected] SMS 0815 1999 4916.