REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pemerhati anak asal Papua, Betshie Pesiwarissa, mengatakan, kasus-kasus perundungan, penindasan, atau perisakan merupakan salah satu dampak negatif penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab. Dia menjelaskan peranan keluarga dalam kasus ini sangat diperlukan.
Sesibuk apa pun, orang tua harus meluangkan waktu bagi anak-anaknya agar batas-batas dalam berperilaku di lingkungan sosial masih dapat ditekankan. "Kasus perundungan tersebut juga terjadi di Bumi Cenderawasih, hanya saja kini dalam penyelesaiannya masih menggunakan cara kekeluargaan," ucapnya di Denpasar, Rabu (10/4).
Sebagai satu contoh adalah kasus perundungan yang terjadi pada salah satu SMA di Papua belum lama ini. Dalam video yang beredar dipertontonkan bagaimana seorang anak dipukul oleh oleh teman sekolahnya.
Betshie menyebut video itu menjadi bahan tontonan anak-anak sekolah lewat gawainya masing-masing. Akan tetapi, tidak pernah diunggah bagaimana akhir atau penyelesaian dari kasus perundungan tersebut.
"Anak-anak dan remaja khususnya yang telah menggunakan gawai selama ini hanya menonton berbagai macam kasus perundungan hingga tindak kriminal. Namun, mereka tidak mengetahui penyelesaiannya, akhirnya justru meniru perilaku dalam video-video yang beredar di media sosial tersebut," ujar praktisi hukum pada LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Papua itu.
"Lantas kaitannya dengan kasus Audrey yang kini sedang viral, diharapkan ada efek jera bagi pelaku sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya, meskipun usianya masih anak-anak dan ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak," ujarnya.
Dia menambahkan dalam kasus Audrey di Pontianak pelakunya bisa dipidana. Ini mengingat penetapan ambang batas usia pertanggungjawaban hukum terbaru pada Undang-Undang Perlindungan Anak yakni 14 tahun, pidana yang dikenakan adalah seperdua dari hukuman orang dewasa.