REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) meminta masyarakat untuk menghargai dan melindungi hak pilih bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam pemilihan umum 17 April 2019. Ketua PDSKJI dr Eka Viora Sp.KJ dalam pernyataan tertulisnya yang diterima di Jakarta, menyebutkan bahwa hak pilih merupakan hak asasi seluruh manusia, termasuk orang dengan disabilitas baik fisik maupun mental, termasuk di dalamnya orang dengan gangguan jiwa.
Dia menuturkan bahwa terjadi kontroversi di masyarakat tentang pro dan kontra pemilih ODGJ sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa semua penyandang disabilitas termasuk akibat gangguan jiwa memiliki hak suara dalam Pemilihan Umum 17 April 2019. Kontroversi pun terjadi di masyarakat.
Banyak yang mendukung hak ini, namun tidak sedikit pula yang menanggapi secara negatif. Tanggapan dilontarkan dalam bentuk pernyataan penolakan, merendahkan, dan menjadikan lelucon, yang justru semakin menjauh dari upaya pemenuhan hak asasi manusia pada orang dengan disabilitas seperti yang telah dijamin oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1917 tentang Pemilihan Umum dan berbagai peraturan perundangan lainnya, jelas dia.
PSDKJI mengimbau kepada para psikiater dan masyarakat untuk menaati peraturan perundangan yang berlaku di negara Indonesia untuk memfasilitasi penyampaian hak suara orang dengan gangguan jiwa. Dia juga meminta agar menghormati dan menjamin hak pilih orang dengan gangguan jiwa dengan cara melakukan pendataan, memfasilitasi agar hak suara dapat tersampaikan dengan asas pemilu yang benar
Termasuk mengawasi dan melindungi dari penyalahgunaan atau perlakuan salah dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu berupaya melindungi dan memfasilitasi pemenuhan semua hak orang dengan gangguan jiwa.
Memberikan hak pilih pada orang dengan gangguan jiwa merupakan bagian penting dalam upaya mengurangi stigma, mendorong rehabilitasi dan integrasi orang dengan gangguan jiwa agar dapat diterima dan aktif kembali dalam kehidupan bermasyarakat, kata Eka.
PSDKJI menilai gangguan jiwa bukanlah ketidakmampuan. Penetapan kapasitas orang dengan gangguan jiwa untuk menggunakan hak pilihnya tidak didasarkan pada diagnosis maupun gejalanya, melainkan didasarkan pada kapasitasnya untuk memahami tujuan pemilu, alasan berpartisipasi, dan pemilihan calon.
Pertimbangan mendalam terutama dikaitkan dengan fungsi kognitif (kemampuan berpikir), mengendalikan agresivitas, dan berperilaku sesuai norma yang berlaku di masyarakat. PDSKJI juga berpendapat tidak diperlukan surat keterangan sehat jiwa sebagai persyaratan untuk memilih, mengingat tidak ada peraturan yang mewajibkan adanya surat keterangan sehat untuk memilih.
Apabila surat keterangan sehat jiwa diharuskan bagi ODGJ agar dapat melaksanakan hak untuk memilih, maka mempunyai konsekuensi bahwa semua calon pemilih dikenakan aturan yang sama. Eka juga meminta agar senantiasa secara aktif melakukan edukasi bagi masyarakat, partai politik, pendamping dan KPU agar dapat melakukan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan pendampingan orang dengan gangguan jiwa bila diperlukan.