Senin 01 Apr 2019 09:50 WIB

Kopi Solok Radjo: Inovasi Milenial Demi Kesejahteraan Petani

Kopi Solok Radjo dikelola anak-anak muda usia 30 tahunan dengan visi besar.

Kopi Solok Radjo: Ceri merah kopi Solok Radjo.
Foto: KSPU
Kopi Solok Radjo: Ceri merah kopi Solok Radjo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elba Damhuri

Kopi Solok Radjo semakin dikenal di kalangan penikmat dan pecinta kopi. Rasanya yang segar buah-buahan seperti lemon, sedikit manis, dan sensasi pahit tetap ada menjadi ciri khas kopi Solok Radjo.

Tak heran jika kopi ini menjadi buruan di banyak tempat. Bahkan, penikmat kopi di Amerika Serikat (AS) sudah membidik kopi Solok Radjo.

"Kami semua berangkat dari kesejahteraan petani kopi Solok yang tidak bagus dan harga kopi yang terlalu murah," kata Teuku Firmansyah, Bendahara dan Bagian Promosi/Penjualan Koperasi Produsen Serba Usaha (KPSU) Solok Radjo, dalam perbincangan dengan Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Petani menjadi tidak punya minat menanam kopi, Buat mereka, kopi tidak lagi menarik untuk dikembangkan dan akibatnya banyak pohon kopi yang ditebang.

photo
Kopi Solok Radjo: Biji kopi SOlok Radjo sedang dipilah-pilah.

Teuku menyebut, sebelum para petani dibina, harga ceri merah (biji kopi selepas panen tanpa diproses) hanya Rp 2.000 per kg. Para pembeli ini pun memposisikan dirinya sebagai yang tidak butuh, petani yang membutuhkan mereka.

Bahkan, kata Teuku, saat panen raya, harga jual ceri merah itu bisa lebih murah lagi. Artinya, harga kopi ceri merah per kg hanya Rp 1,500. "Petani dapat apa?" kata Teuku yang saat ini berusia 33 tahun.

Untuk green beans (GB, biji kopi hijau) harga per kg antara Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu. Masih sangat murah harganya.

Green beans merupakan biji kopi hijau yang setelah dipanen diolah melalui beberapa metode. GB  ini untuk bisa dikonsumsi harus disangarai/dipanggang terlebih dahulu untuk kemudian menjadi beans (biji kopi siap konsumsi).

Situasi sulit ini berlangsung sejak sebelum tahun 2014. Teuku memaparkan ada beberapa persoalan mendasar yang menyebabkan harga kopi Solok Radjo murah dan petani tidak sejahtera.

Pertama, rantai penjualan yang begitu panjang. Hal ini membuat harga menjadi murah di tingkat petani dan mahal di tingkat pengecer.

photo
Kopi Solok Radjo: Pembibitan kopi Solok.

Kedua, standar produksi yang belum ada. Dalam hal ini, kualitas kurang baik. Kalau diproses baik pun harga tetap murah, dibeli oleh pedagang di pasar-pasar tradisional.

Ketiga, belum adanya branding kopi Solok itu sendiri. Dan terakhir, belum ada sebuah lembaga yang ikut berperan dalam mengedukasi secara teknis budidaya kopi agar produktivitas buah kopi baik juga.

Menjawab tantangan-tantangan ini, anak-anak muda Solok dimotori Alfadrian Syah (32 tahun), Teuku Firmansyah, Wiwin Sebagia (33 tahun), dan lain-lainya, menocba membuat beberapa upaya dan terobosan.

Salah satu cara yang paling cepat saat itu, kata Teuku, menjual langsung kopi Solok ke coffee shop. "Kami juga melakukan perbaikan kualitas pasca-panen,dan membuat beberapa varian produk," kata Teuku.

Mereka juga membranding produk kopi Solok agar mudah dikenal dan diingat. Tujuan lainnya, agar awarenees konsumen semakin tinggi atas kehadiran kopi Solok.

Langkah yang tak kalah pentingnya, Teuku menegaskan, mereka membentuk Koperasi Produsen Serba Usaha Solok Radjo. KPSU Solok Radjo saat ini diketuai Alfadrian Syah.

Teuku mengatakan KPSU berdiri pada 2014 dan baru berbadan hukum pada 2016.

 Embrio awalnya, pergerakan pengembangan kopi Solok yang dimulai pada 2012.

photo
Kopi Solok Radjo: Edukasi kopi Solok Radjo.

"Karena semakin banyak yang bergabung maka pada 2014 kita sepakat membuat koperasi: Karena dengan berkoperasi semua bisa ikut dan mendapat kesejahteraan bersama juga," kata Teuku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement