Kamis 21 Mar 2019 06:30 WIB

Kesehatan Mulut dan Gigi Pengaruhi Potensi Akademis Anak

Akibat sakit gigi, 37 persen anak mengaku harus absen dari sekolah

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Christiyaningsih
Anak-anak SDN Gunung 01, Jakarta Selatan sedang menyikat gigi bersama-sama.
Foto: Republika/Noer Kusumawardhani
Anak-anak SDN Gunung 01, Jakarta Selatan sedang menyikat gigi bersama-sama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memperingati Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Sedunia 2019, ternyata masih banyak anak-anak yang kurang memperhatikan kesehatan mulut. Padahal kesehatan mulut pada kehidupan anak-anak berdampak pada potensi akademis serta rasa percaya diri mereka.

Hal ini dibuktikan dari hasil survei global yang dilakukan di delapan negara seperti Cile, Mesir, Prancis, Italia, Indonesia, Amerika Serikat, Ghana, dan Vietnam pada 2018. Survei ini melibatkan 4.094 anak berusia enam sampai 17 tahun berserta orang tua mereka. Di Indonesia survei dilakukan pada 506 anak.

Baca Juga

Hasil utama ini survei adalah banyaknya anak Indonesia yang mengalami keluhan sakit gigi selama satu tahun terakhir yakni sebesar 64 persen. Sebanyak 41 persen dari mereka menyatakan intensitas rasa sakitnya mencapai tingkat sedang hingga berat.

"Masalah ini ternyata menyebabkan mereka menemui banyak kesulitan di sekolah, baik dalam meraih prestasi akademis maupun bersosialisasi," kata Division Head for Health & Wellbeing and Professional Institutions Yayasan Unilever Indonesia, Ratu Mirah Afifa, dalam acara talkshow memperingati Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Sedunia di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (20/3).

Akibat sakit gigi, 37 persen anak mengaku harus absen dari sekolah. Jumlah absen rata-rata dua hari per anak dalam setahun. Rasa sakit pun menyebabkan 29 persen dari anak-anak mengalami gangguan tidur sehingga terpaksa harus sekolah dalam keadaan mengantuk.

Didapati pula sebagian besar dari mereka sulit berkonsentrasi dan tidak bisa turut aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Akhirnya, kemampuan mereka menyerap materi pelajaran menjadi sangat terganggu.

"Anak-anak yang bermasalah dengan gigi dan mulut cenderung dua kali lebih rentan untuk mengalami krisis kepercayaan diri, kesulitan bersosialisasi bahkan menolak untuk menperlihatkan senyum mereka dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki gigi dan mulut yang sehat," kata Mirah menambahkan.

Temuan ini ditanggapi oleh psikolog anak dan keluarga Ayoe Sutomo. Ayoe mengatakan dalam menemukan rasa percaya diri ada beberapa komponen yang saling mendukung. Di antaranya, rasa nyaman terhadap diri sendiri yang menimbulkan perasaan positif serta membuat diri merasa berharga atau self-esteem.

Kebiasaan hidup sehat, kata Ayoe, termasuk merawat kesehatan gigi merupakan salah satu hal yang mendukung anak untuk memiliki self-esteem yang baik. Karena dengan kebiasaan ini, maka anak akan mendapatkan timbal baik positif dari lingkungan yang membuatnya merasa nyaman.

"Apalagi saat ini anak tidak hanya dituntut untuk memiliki kecerdasan secara akademis, namun juga kecerdasan interpersonal. Tentunya keduanya membutuhkan rasa percaya diri yang tinggi," ujar Ayoe.

Lebih jauh, survei global juga menyoroti peranan orang tua dalam membiasakan anak mereka menjaga kesehatan gigi sejak dini. Meskipun 90 persen dari orang tua di Indonesia yang terlibat di dalam survei ini mengaku anak-anak mereka sudah menyikat gigi dua kali sehari, namun 24 persen dari mereka memperbolehkan anak-anaknya melewatkan sikat gigi pada malam hari.

Bahkan 21 persennya menjadikan kelonggaran tersebut sebagai sebuah bentuk reward atau hadiah. Belum lagi, 79 persen dari orang tua juga menyebutkan mereka baru mengajak anak mengunjungi dokter gigi saat masalah sudah timbul. Kunjungan ke dokter gigi bukan sebagai kunjungan rutin yang seharusnya dilakukan minimal enam bulan sekali. Hal ini akhirnya menyebabkan anak-anak menjadi lebih rentan mengalami sakit gigi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement