REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satai merupakan salah satu makanan khas tradisional Indonesia yang telah diakui dunia. Bumbu khas racikan Indonesia menjadi penanda budaya dan identitas Nusantara.
"Bumbunya menandakan budaya dan identitas Indonesia. Satai Belanda dan Cina itu kan datang dari Indonesia. Kita masih punya identitas lewat bumbunya," ujar koki Sisca Soewitomo kepada Republika.co.id, Kamis (28/2).
Satai dulunya, menurut Sisca, adalah daging yang ditusuk dengan lidi kemudian dicelupkan ke dalam kecap dan dibakar. Dalam perkembangannya, kecap ditambah racikan bumbu (marinade) seperti bawang merah dan cabai yang dihaluskan, dipadukan dengan merica dan ketumbar agar aroma satai semakin sedap sebelum dibakar.
Pakar tata boga kelahiran Surabaya itu menjelaskan, tak ada kegagalan dalam membuat satai. Kegagalan terjadi atas keteledoran saat membakar daging. Jika daging menimbulkan rasa pahit, dia menyarankan untuk membuangnya. Daging yang gosong akan mempengaruhi rasa sate yang lainnya.
Dia menerangkan, daging berwarna gelap karena terlalu matang bisa tetap dihidangkan dengan bumbu akhir. "Kegagalan hanya pada daging. Tapi ada pertolongan. Tidak ada kegagalan karena akan dinetralisir dengan bumbu diakhir penyajian," ujarnya.

Satai buntel, salah satu kuliner Solo yang terbuat dari daging kambing atau sapi cincang.
Bumbu akhir penyajian yang dimaksud adalah selai kacang atau kacang yang dihaluskan kemudian diberi sedikit air. Berikutnya, tambahkan irisan bawang merah dan cabai ke dalam bumbu secukupnya. Terakhir peraskan jeruk nipis sebelum satai dihidangkan.
Sisca juga berpesan untuk penggunan selai kacang usahakan memilih yang kasar. Jika menggunakan selai kacang yang terlalu halus maka rasa kacang akan menjadi datar.
"Selai kacang ada yang creamy dan ada yang tidak, yang tidak ada kernelnya, masih ada butirannya. Kalau halus lempeng saja, kalo ada grenjel-grenjel-nya itu kan lebih enak dimakan," ujarnya.
Menurut koki Herman Kemang, tahap pembuatan satai bisa dilihat jenis dan tipenya. Berbeda dengan satai pada umumnya, jika ingin membuat satai ayam madura tak perlu melakukan marinasi.
Herman menerangkan, kunci dalam membuat satai terletak pada tingkat kesegaran dan kematangan daging. Dalam proses pemanggangan, yang perlu diperhatikan bukanlah seberapa lama memanggang melainkan jarak antara daging dengan bara pemanggang.
"Makin besar potongan makin jauh jarak, tapi makin lama proses pematangan daging,“ ujarnya.

Menu satai di salah satu rumah makan terkenal.
Dia membandingkan satai tradisional dengan satai di Eropa yang umumnya melalui proses marinasi. Pembedanya terletak pada bumbu perendam daging atau marinade dan bumbu setelah dibakar.
"Mayoritas satai di Eropa itu hanya dimarinasi garam. Sedangkan di Asia, satai dimarinasi menggunakan bumbu," ujarnya.
Herman menambahkan, satai dan bumbunya dikembangkan berdasarkan budaya sebuah negara. Dia mencontohkan, yakitori, salah satu satai olahan Jepang dikembangkan sesuai budaya dengan menambahkan shoyu (kecap asin), sake (arak) dan mirin (bumbu dapur).
"Perbedaan satai Indonesia dengan negara lain, adalah dari teritorial atau rumpun bangsa," ujarnya.