Rabu 06 Feb 2019 11:54 WIB

Menyusuri Glodok, Pecinan Tertua di Jakarta

Anda bisa merasakan keriaan Imlek yang membuat suasana lebih meriah.

Salah satu toko kelontong di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat.
Foto: Republika/Mimi Kartika
Salah satu toko kelontong di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perayaan tahun baru Cina alias Imlek betul-betul terasa di kawasan Pecinaan Glodok, Jakarta, Selasa (5/2). Rombongan dari Wisata Kreatif Jakarta berjalan kaki selama empat jam menelusuri kawasan Glodok sembari merasakan keceriaan Imlek yang membuat suasana lebih meriah.

Tempat-tempat di bawah ini bisa jadi inspirasi buat Anda yang ingin menjelajahi pecinaan tertua di Jakarta. Rombongan melewati gang-gang kecil yang dipenuhi gerobak makanan menggiurkan hingga kelenteng yang disesaki manusia.

Baca Juga

Pantjoran Tea House

Gedung ini berada di Pintu Gerbang Selatan kota Batavia menuju Pecinaan sejak 1900. Dulunya gedung ini adalah toko "Winkel The Lun Tai" (Toko Pojok milik The Lun Tai) yang berubah jadi Toko Obat Chung Hwa. Hingga saat ini area sekitar Pantjoran Tea House memang dipenuhi oleh toko-toko obat tradisional Cina.

Gedung ini akhirnya terbengkalai selama puluhan tahun hingga akhirnya direnovasi pada 2015 sebagai bagian dari revitalisasi Kota Tua. Bangunan apotek ini beralih fungsi jadi rumah teh yang juga menyajikan masakan Cina.

Tak sulit mencari rumah teh ini. Selain berada di pinggir jalan, di bagian depannya ada meja berisi delapan teko teh yang bisa disesap oleh orang yang lewat secara cuma-cuma.

"Dulu Pancoran ini namanya Jalan Patekoan," kata Ira Lathief, pemandu sekaligus pendiri tur Wisata Kreatif Jakarta.

Patekoan artinya delapan teko (Pa adalah delapan, tekoan artinya teko), jumlah teko yang disediakan di depan rumah teh tersebut. Itu merupakan tradisi lama yang dimulai oleh Kapitan Gan Djie pada 1600-an.

Dia menyediakan delapan teko untuk melegakan dahaga para pejalan kaki yang melewati tempat itu. Seperti teh-teh Cina dan Jepang pada umumnya, teh yang disajikan dalam delapan teko itu tidak manis, tapi ada gula pasir yang tersedia untuk pejalan yang lebih suka menikmati teh manis.

Bicara soal teh manis, Ira mengatakan minuman yang dinikmati banyak orang di Indonesia itu hadir dari kebiasaan budak-budak zaman penjajahan Jepang. "Romusha kerja rodi, tapi jarang dikasih makan. Agar tetap punya energi dan stamina, mereka dikasih teh dengan gula. Di tempat aslinya, Jepang dan Cina, teh diminum tanpa gula karena (tanpa gula) memang yang berkhasiat," kata dia.

Toko-toko obat

Tak jauh dari Pantjoran Tea House berjejer toko-toko obat tradisional di Jalan Pancoran yang kebetulan tutup saat Imlek. Meski demikian, masih ada pedagang yang menggelar lapak di sana, menawarkan obat-obat tradisional seperti daun jati Cina yang dipercaya dapat menguruskan badan hingga tongkat ali sebagai obat kejantanan pria. Jalan Pancoran juga diramaikan oleh pedagang rokok dan cerutu dari berbagai merek hingga amplop angpau untuk Imlek.

Toko manisan, permen dan kacang

Tak jauh dari toko-toko obat, Anda bisa membeli ragam manisan, permen dan kacang yang bervariasi. Banyak diantaranya merupakan manisan dari negeri Jiran bahkan dari Hong Kong. Ada kacang, cokelat-cokelat yang dibalut dengan kemasan menarik, permen aneka rasa hingga permen jahe.

Gang Gloria

Gang kecil nan sempit ini dipenuhi dengan beragam pedagang makanan sekaligus 'surga' untuk penikmat daging babi. Di gang ini berdiri kedai kopi tertua di Batavia, Kopi Es Tak Kie, yang dibuka sejak 1930-an.

Tak jauh dari situ, ada juga Ko Tang Barber Shop, tempat pangkas rambut legendaris yang sudah berdiri hampir 90 tahun. "Tiap ada kampanye, entah pemilihan kepala daerah atau presiden, pasti tempat itu didatangi kandidat yang mau minta 'restu'," kata Ira.

Jangan meleng bila ingin menemukan penjual chi cong fan yang mangkal di pinggir jalan dengan sepeda modifikasi berisi uyen (talas goreng), somay, dan lumpia. Seporsi gorengan lengkap dengan potongan ci chong fan yang mirip kwetiau dapat dinikmati dengan harga Rp 10 ribu. Di sekitar situ juga ada gang yang dipakai untuk membersihkan hewan-hewan untuk dimakan, seperti belut dan kodok.

Wihara Dharma Bakti alias Kelenteng Jin De Yuan

Di luar wihara, berjejer kandang berisi ratusan burung kecil. Kandang-kandang berisi burung ini nantinya dibeli oleh orang yang bersembahyang. Kemudian, kadang itu akan dibuka agar hewan-hewan di dalamnya bisa terbang bebas.

Ira menjelaskan tradisi melepaskan burung dianggap dapat membawa karma baik. Alat-alat untuk sembahyang juga dijual di sebuah toko yang letaknya hanya puluhan langkah dari pintu masuk wihara. Toko ini menjual uang, sepatu hingga baju dari kertas yang akan 'dikirim' pada leluhur dengan cara dibakar.

Wihara yang sudah berdiri selama empat abad itu dipenuhi orang yang bersembahyang saat Imlek. Bukan cuma itu, berjejer pula antrean pengemis yang mengharap lembaran uang dari orang-orang yang ingin berbagi rezeki pada Tahun Baru.

Ira menjelaskan, wihara ini sudah beberapa kali terbakar, tapi bisa bertahan hingga saat ini. Pada kebakaran 2015, patung Dewi Kasih Sayang Kwan Im berhasil selamat dari api yang berkobar, membuat orang-orang menganggapnya sebagai patung keramat.

Di Indonesia, umat yang berdoa di kelenteng dan wihara kerap bercampur baur. Ini adalah sebuah keunikan karena di luar negeri kelenteng dan wihara tampak berbeda satu sama lain. Di wihara-wihara Indonesia, ada beragam simbol yang ada di kelenteng. Tidak demikian halnya dengan wihara di luar Indonesia.

Ini tak lepas dari kebijakan politik Orde Baru yang menciptakan diskriminasi bagi orang-orang keturunan Cina di Indonesia, salah satunya soal kebebasan beribadah. Penganut Konghucu harus memeluk agama yang saat itu diakui, kebanyakan memilih agama Budha, Kristen Protestan, atau Katolik.

Kelenteng Jin De Yuan pun berganti nama jadi Wihara Dharma Bakti. Semenjak pemerintahan Gus Dur, pemeluk kepercayaan tradisional Cina kembali diakui.

photo
Umat yang merayakan hari raya Imlek nampak melakukan ibadah di Vihara Dharma Bakti, di bilangan Petak Sembilan, Jakarta, Selasa (5/2).

Gereja Katolik Santa Maria De Fatima

Gereja Katolik yang sudah berdiri sejak 1950-an ini unik karena arsitekturnya bergaya bangunan Cina Selatan atau Fukien. "Hanya ada dua gereja berasitektur Cina di Indonesia, satu lagi di Manado," kata Ira.

Gereja dengan gaya arsitektur Cina yang dihiasi sepasang patung singa batu itu dulunya merupakan rumah orang Cina yang menganut agama Katolik. Di gereja ini, misa diadakan dalam bahasa Mandarin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement