Jumat 18 Jan 2019 17:00 WIB

Waspadai Sextortion, Ancaman Siber Incar Remaja

Pemerasan seksual bisa dilakukan secara offline dan online.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Ani Nursalikah
Ilustrasi
Foto: pixabay
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TALLAHASSEE -- Jenis kejahatan siber bernama sextortion kini semakin marak, mengincar remaja dan anak muda di Amerika Serikat. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2018 dalam jurnal Sexual Abuse menggarisbawahi penanggulangan masalah tersebut sangat dibutuhkan.

Sextortion berasal dari kata sex (seks) dan extortion (pemerasan). Kondisi ini bisa berawal dari sexting (saling mengirim pesan berbau seks). Setelah pelaku mendapat foto telanjang atau gambar privat, dia memeras korban dan mengancam menyebarkan foto atau video tersebut.

Baca Juga

Studi terkait telah menjumpai peningkatan tajam jumlah foto telanjang atau foto vulgar remaja yang disebarluaskan tanpa persetujuan mereka. Hal tersebut meresahkan karena di kalangan anak muda, foto telanjang disalahgunakan untuk memeras dan perbudakan seksual.

Namun, sextortion tidak selalu dengan orang yang dikenal. Kasus pada 2011 di Kalifornia Selatan, peretas bernama Luis Mijangos menyusup ke komputer beberapa wanita dan mencari foto pribadi. Kemudian, hal itu digunakan sebagai alat pemerasan dan memastikan para perempuan terus mengirim foto telanjang.

Antara Juli dan Agustus 2018, Biro Investigasi Federal AS (FBI) menerima lebih dari 13 ribu laporan sextortion di pusat-pusat panggilan mereka. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Belum ada klasifikasi apakah kasus tersebut lebih banyak terjadi di kalangan orang dewasa atau remaja.

Dari sudut pandang penelitian, sextortion telah banyak diselidiki. Namun, menurut Profesor Sameer Hinduja dari Sekolah Kriminologi dan Keadilan Pidana di bawah naungan Universitas Florida Atlantik mengatakan studi terkait sextortion dan remaja selama ini masih kurang.

"Kami melakukan beberapa penelitian, tetapi sifatnya retrospektif di mana orang dewasa diminta mengingat kembali pengalaman di masa muda. Sangat penting untuk langsung berbicara dengan responden kaum muda mengenai apa yang mereka jalani dan hadapi sehari-hari," kata Hinduja.

Direktur di Cyberbullying Research Center itu menggandeng profesor peradilan pidana Universitas Wisconsin Eau Claire, Justin Patchin untuk memperbaiki kurangnya studi. Mereka menggagas riset terhadap 5.569 siswa sekolah menengah mengenai kasus sextortion.

Hasilnya, lima persen remaja dilaporkan pernah mengalami sextortion. Survei juga menunjukkan sextortion sering terjadi dengan mantan pasangan romantis. Mantan kekasih kerap menjadi posisi pemeras dengan mengancam akan menyebarkan foto pribadi.

"Mereka bisa menghancurkan kepercayaan Anda. Sangat jarang pelaku sextortion dilakukan orang yang tidak dikenal, baik secara offline maupun online," ujar Hinduja, dikutip dari laman Inverse.

Untuk mencegah hal itu, Hinduja berharap remaja tidak pernah mengirimkan foto telanjang atau vulgar kepada pasangan. Meskipun, dia mengakui saran itu bukan solusi realistis mengingat kebiasaan tersebut dianggap normal di masyarakat Barat.

Hal yang lebih penting, menurut dia, memberi remaja pengertian tentang apa yang tidak normal dan tak boleh dilakukan dalam suatu hubungan. Pembicaraan serius perlu dilakukan dengan mereka mengenai ciri hubungan romantis yang sehat dan mana hubungan romantis yang berbahaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement