Ahad 13 Jan 2019 18:03 WIB

Waspadai Orang Ketiga dengan Niat Tindakan Kriminal

Korbannya pada umumnya merupakan pria mapan.

Dari sisi emosi, orang yang sedang berbohong akan marah saat pasangan menanyakan apakah dia selingkuh atau tidak.
Foto: flickr
Dari sisi emosi, orang yang sedang berbohong akan marah saat pasangan menanyakan apakah dia selingkuh atau tidak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Tika Bisono meminta keluarga mewaspadai kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga. Terutama mereka yang berniat melakukan tindak kriminal.

Tika menilai ada sebagian orang ketiga yang punya maksud lain di balik perilaku perselingkuhannya. Yakni untuk mendapatkan materi, terang Tika, Ahad (13/1).

"Ini berbeda sekali dengan kehadiran orang ketiga karena hati. Sebagai konsultan, saya bisa dengan mudah menebak, kehadiran orang ketiga yang didasarkan pada hati, sejatinya cermin bahwa kehidupan berumah-tangganya ada masalah."

"Sedangkan kehadiran orang ketiga dengan motif kriminal, solusinya hanya satu yakni laporkan ke polisi. Itu tidak sulit sama sekali karena ada deliknya," ujarnya.

Tika menilai upaya untuk menjerat laki-laki beristri agar tertarik pada pelaku, lalu dijadikan sebagai korban pemerasan dan memanfaatkan posisinya sebagai orang ketiga adalah salah satu modus operandi pelaku kejahatan ini yang tengah berkembang di masyarakat. Korbannya, menurut Tika, umumnya adalah pria mapan.

"Ia (korban) bisa pengusaha, pejabat atau profesi mapan lain yang sangat mementingkan reputasi. Jika berhasil masuk perangkap, tipe-tipe pria mapan ini sangat rentan jadi objek pemerasan. Karena itulah polisi harus masuk dan masyarakat harus tahu," tutur Tika.

Tindakan tegas aparat kepolisian terhadap praktik pemerasan dengan modus menjadi orang ketiga, diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku. Sekaligus peringatan bagi para pria mapan agar waspada.

"Karena itu, banyak orang yang menjadi korban wanita berkedok orang ketiga, tetapi tidak mau mengungkapkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah pertimbangan pendek. Biasanya menghindari aib, atau khawatir mempengaruhi karier. Itu pertimbangan keliru," ucap Tika.

Menurut dia, siapa pun yang sudah terlanjur terlibat dengan persoalan orang ketiga, harus memiliki niat untuk mempertahankan keutuhan keluarga dalam jangka panjang. "Rasa malu, aib, bahkan karier menjadi tidak penting jika dibandingkan keselamatan keluarga ke depan," ucap dia.

Tika menegaskan pentingnya bagi pasangan untuk berkonsultasi ke pakar psikologi perkawinan. Tujuannya adalah untuk kembali membangun kesepakatan bersama. Ia mengibaratkan kegiatan tersebut seperti menekan tombol 'reset' pada komputer.

"Di sinilah fase ujian suami dan istri sebagai pasangan. Apakah istri bisa menerima suami ketika lemah. Atau, apakah suami bisa menerima istri saat lemah," kata dosen psikologi Universitas Mercu Buana itu.

Di fase konsultasi, keduanya harus jujur, dan jujur itu adalah bagian terberat. "Jangan berlindung di balik dalih dikerjain, dikejar-kejar, tetapi faktanya setelah makan malam pertama, masih ada makan malam kedua, ketiga, bahkan kemudian sarapan dan makan siang. Atau dengan kata lain, tidak mungkin pihak luar bisa membuka pintu pribadi kita, kalau tidak dikasih kunci. Itu logika," tutur Tika.

Berdasar teori psikologi, maupun berdasar pengalaman Tika sebagai psikolog, fase konseling pasangan yang usai dilanda persoalan orang ketiga, sangat penting untuk memiliki pemahaman bahwa kedua belah pihak harus sama-sama mau berubah. "Lepas dari kadar besar-kecil, kasus orang ketiga terjadi karena kesalahan tiga orang sekaligus. Orang ketiga salah, suami salah, istri salah. Ini akan terbuka dalam sesi konsultasi. Jika suami-istri jujur dan bersedia me-reset hubungan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan katarsis. Menumbuhkan hal-hal positif yang justru memperkuat ikatan pernikahan ke depan," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement