REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanpa disadari, suasana hati memengaruhi makanan yang dikonsumsi. Kondisi ini dikenal dengan nama emotional aating alias makan emosional.
Bila makan emosional tidak ditanggapi dengan bijak, maka dapat mengakibatkan konsumsi Gula, Garam dan Lemak (GGL) yang melebihi batas harian. Vera Yudhi H. Napitupulu, STP selaku Manager Program Klinik Light HOUSE mengatakan makan emosional adalah berdasar kebutuhan perasaan, stress bukan fisik. Makan emosional kalau dibiarkan terus menerus bisa memicu penyakit tidak menular.
"Ketika makan dalam kondisi yang sebenarnya sedang tidak lapar, tubuh kita sebenarnya sedang tidak membutuhkan kalori. Bila kondisi ini terus berulang, maka kelebihan kalori akan disimpan sebagai lemak dan dapat menyebabkan obesitas," kata Vera di Jakarta.
Obesitas berpotensi mengakibatkan berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, sakit sendi, dan penyakit empedu. Dia menambahkan ada tiga terapi makan emosional, yaitu melalui psikologis, medis dan pola makan.
Dari sisi psikologis, terapis menganjurkan pasien makan sedikit tanpa mengalihkan emosinya. Jadi awalnya harus diberi cara-cara mengendalikan emosi agar tidak selalu mencari makanan. Untuk secara medis, pasien bisa diberi obat-obatan jika dibutuhkan. Sedangkan terapi makan ada tiga tujuan, mengontrol diri, meningkatkan pengetahuan nutrisi, membantu terlepas dari obat supaya tidak bergantung pada obat.
Pengontrolan makanan, antara lain, dari segi porsi, jenis dan waktu makan agar status gizinya baik. Melalui terapi komprehensif ini ternyata terbukti dapat menurunkan berat badan jauh lebih banyak ketimbang terapi konvensional, yaitu 3,5 kali lebih banyak.
"Jadi bukan menjadikan pasien takut makan, tapi memberitahu tidak boleh berlebihan," ujar Vera.
Untuk mencegah PTM, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) juga mensosialisikan istilah CERDIK. Kepanjangannya, cek kesehatan secara rutin, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet seimbang, istirahat cukup, kelola stress.