REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Solo travelling atau perjalanan solo populer dalam dua tahun terakhir seiring dengan kemajuan teknologi. Ini membuat seseorang mengetahui kondisi seluruh penjuru dunia lebih mudah.
Dulu, keterampilan membaca peta dan pengetahuan bahasa lain menjadi kebutuhan utama ketika jalan-jalan. Kini, berkeliling dunia tidak lagi menjadi pekerjaan menakutkan karena ponsel membantu dalam menavigasi, berkomunikasi dan membuat kita tetap berhubungan dengan mereka di rumah dan kantor.
Tren perjalanan solo ini disorot dalam penelitian terbaru yang dilakukan Hitwise, lembaga peneliti perilaku online terbesar di Inggris. Dilansir di Female First, Sabtu (3/11), Hitwise menganalisis lebih dari tiga juta penelusuran online konsumen di Inggris.
Hasil analisis menunjukkan, pencarian solo travelling meningkat selama tiga tahun terakhir. Dari pencarian itu, Asia Tenggara dan Selandia Baru menjadi tujuan paling populer. Sementara itu, platform media sosial Pinterest melaporkan peningkatan hingga 600 persen pada pin terkait solo travelling selama 12 bulan terakhir.
Menariknya, kecenderungan ini tidak semata ditentukan oleh usia. Generasi lebih muda tentu saja tertarik pada tren solo traveling, dengan data Abta yang menemukan, 12,5 persen orang berusia 18-24 tahun telah bepergian sendiri pada 2017. Angka ini meningkat dibanding kondisi 2011, di mana 4,5 persen dari orang berusia 15-24 tahun yang melakukan perjalanan solo.
Tapi, spesialis operator perjalanan liburan Solo Just You mengatakan, pelanggan mereka berkisar dari usia 21-90 tahun dengan rata-rata dominan adalah kelompok usia 55 tahun ke atas. Ini menunjukkan, orang-orang dari segala usia turut andil dalam peningkatan perjalanan solo.
Data menunjukkan, perempuan menjadi dominan pelancong yang gemar melakukan solo traveling. Unique Home Stays menemukan, pada 2015, hanya 22 persen dari pelancong solo adalah pria dan sisanya diisi oleh perempuan.
Pada dua tahun kemudian, dominasi perempuan semakin meningkat. Tercatat, 84 persen pelancong solo adalah perempuan. Hitwise juga menemukan, pencarian untuk perjalanan solo paling populer dengan wanita berusia 25-34 tahun dan tinggal di London.
Perubahan gaya hidup disebut-sebut sebagai alasan tren bepergian solo semakin meningkat. Menurut Kantor Statistik Nasional (ONS), antara 2012 hingga 2016, waktu fleksibel naik 12,35 persen. Sebanyak 4,2 juta orang dari berbagai sektor bekerja dari rumah pada 2015. Berbaga perusahaan semakin aktif menerapkan strategi kerja jarak jauh dalam model bisnis mereka.
Tren ini akan terus tumbuh. Sebab, 50 persen pekerja diprediksi akan bekerja dari jarak jauh pada 2020. Dampaknya, mereka akan lebih mudah dalam mengelola waktu dan tenaga untuk bepergian ke seluruh dunia, termasuk solo traveling.
Faktor lain adalah orang-orang cenderung ingin melajang lebih lama. ONS melaporkan, 51 persen orang di Inggris dan Wales yang masih lajang pada 2011 lebih banyak 47 persen dibanding dengan 2001. Karena semakin banyak orang yang lajang dan ingin bepergian, wajar bahwa proporsi pelancong solo juga meningkat.
Kesempatan bertemu orang dengan sudut pandang serupa menjadi faktor pendorong berikutnya untuk meninggalkan kantor dan bepergian sendiri. Kemajuan teknologi menjadikan pekerja jarak jauh sebagai alternatif layak dibandingkan harus tinggal di kantor dari jam 09.00 pagi hingga 17.00 sore. Ini dikombinasikan dengan fitur kebutuhan perjalanan yang berada dalam satu perangkat ponsel, sehingga bepergian semakin menarik dan nyaman.