Jumat 26 Oct 2018 08:25 WIB

Stres di Usia Paruh Baya Bisa Rusak Memori dan Otak

Selain usia dan jenis kelamin, studi juga mencermati kebiasaan merokok.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Friska Yolanda
Lupa
Foto: Republika/ Prayogi
Lupa

REPUBLIKA.CO.ID, SAN ANTONIO -- Mengidap stres di usia paruh baya disebut berpotensi merusak memori dan kondisi otak. Para periset dari University of Texas Health Science Center di San Antonio, Amerika Serikat, juga menyoroti kemungkinan gejala Alzheimer atau demensia.

Orang dewasa pada usia 40 sampai 50 tahunan memiliki level hormon stres kortisol yang lebih tinggi dalam darah. Ketika dibandingkan dengan tingkatan usia lain dengan tingkat kortisol rata-rata, orang-orang paruh baya mendapat hasil tes kognitif yang kurang baik.

Peneliti juga mengaitkan tingkat kortisol yang lebih tinggi dengan volume otak yang lebih kecil. Temuan studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal medis Neurology yang diterbitkan oleh Akademi Neurologi Amerika.

"Dalam upaya kami memahami penuaan kognitif, salah satu faktor yang menarik minat dan perhatian secara signifikan adalah peningkatan stres dalam kehidupan modern," kata penulis studi, profesor neurologi Sudha Seshadri.

Akademisi dari beberapa kampus juga turut serta dalam studi. Seshadri dan tim meneliti data dari 2.231 peserta Studi Jantung Framingham. Sementara, sebanyak 2.018 partisipan menjalani magnetic resonance imaging (MRI) untuk pengukuran volume otak. 

Setiap pagi, antara pukul 07.30 sampai 09.00 pagi, para peserta yang diminta berpuasa menjalani pengukuran kortisol serum darah. Ada peserta laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian, dengan usia rata-rata 48,5 tahun.

Selain mempertimbangkan faktor usia dan jenis kelamin, studi juga mencermati kebiasaan merokok dan indeks massa tubuh peserta. Begitu pula faktor risiko genetik para peserta terkait penyakit kardiovaskular dan penyakit Alzheimer.

"Irama hidup yang lebih cepat saat ini berarti lebih banyak stres dengan berbagai dampaknya. Studi ini mengingatkan bahwa tidak pernah terlalu dini untuk sadar mengurangi stres," kata Seshadri, dikutip dari laman Science Daily.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement