REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penanganan dini untuk anak-anak penderita penyakit langka di Indonesia terbilang masih minim. Salah satunya adalah terkait obat-obatan untuk penyakit langka yang masih sangat terbatas baik dari segi perizinan maupun akses.
Di satu sisi, mayoritas obat-obatan penyakit langka masih belum memiliki izin edar dan izin impor di Indonesia. Obat-obatan yang sudah mendapatkan izin pun diketahui belum masuk ke dalam formularium nasional (fornas) program JKN.
"Itu merupakan salah satu bukti pemerintah belum memberikan perhatian khusus," ujar Pendiri Center for Healthcare Reform and Policy Study (CHAPTERS) Luthfi Mardiansyah dalam forum diskusi Gambaran Sistem Kesehatan Indonesia 2018 di Jakarta, Selasa (18/9), seperti diungkapkan dalam siaran pers.
Luthfi menilai minimnya perhatian terhadap penyakit langka pada anak disebabkan oleh pemahaman yang kurang. Selain itu, kemampuan medis terkait diagnosis penyakit langka pun masih kurang.
"Dokter spesialis anak yang berkecimpung di bidang penyakit langka ini masih sangat sedikit sekali," papar Luthfi.
Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami mengatakan ada beberapa jenis penyakit langka yang diderita oleh anak-anak Indonesia. Penyakit tersebut meliputi Mukopolisakaridosis (MPS) tipe II atau sindrom Hunter, Lysosomal Storage Disorder (LSD), Maple Syrup Urin Disease (MSUD) dan Gaucher. Peni mengatakan semua penyakit ini merupakan kelainan metabolik bawaan yang langka.
Sayangnya, baru sekitar lima persen anak-anak penderita penyakit langka di Indonesia yang mendapatkan penanganan dan pengobatan yang memadai. Salah satu masalah utamanya adalah biaya yang sangat tinggi, baik untuk diagnosis maupun pengobatan.
Peni mengatakan obat-obatan dan makanan untuk anak-anak penderita penyakit langka masih diimpir dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal. Sebagai contoh, terapi sulih enzim untuk penderita MPS bisa berkisar Rp 3 miliar per enam bulan. Sedangkan terapi ini perlu dilakukan seumur hidup.
Masalah lain yang disoroti Peni adalah terkait makanan khusus (orphan food) untuk anak-anak penderita penyakit langka. Peni mengatakan peraturan Kementerian Kesehatan dan BPOM masih mengklasifikasikan makanan khusus ini sebagai obat bukan sebagai makanan penunjang kualitas hidup.
Peni mengungkapkan bahwa proses impor orphan drugs dan orphan food ke Indonesia tidak mudah dan harus melalui jalur khusus yang disebut Special Access Scheme. Proses impor ini terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan dapat membahayakan anak-anak penderita penyakit langka karena terlambat mendapatkan obat dan makanan khusus yang mereka butuhkan.
"Anak-anak penderita penyakit langka ini juga anak bangsa yang punya hak untuk mendapatkan perhatian dari semua pihak termasuk pemerintah dan masyarakat," jelas pasangan Joanne Alexander dan Raditya Oloan yang merupakan duta penyakit langka Indonesia.
Berdasarkan hal ini, Luthfi menilai semua pemangku kepentingan perlu melakukan terobosan baru dalam menjamin akses untuk penanganan dan pengobatan anak-anak penderita penyakit langka. Beberapa kemungkinan yang bisa dilakukana dalah mempermudah pemberian nomor izin edar dan izin impor atas orphan drugs dan orphan food. Para pemangku kepentingan juga dapat membuat Orphan Access Program yang dapat memastikan kemampuan untuk mendapatkan dan menjamin ketersediaan obat maupun makanan khusus yang dibutuhkan anak-anak penderita penyakit langka. Hal lainnya adalah penggalangan dana untuk mendanai pembentukan fasilitas laboratorium, produksi di dalam negeri serta peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan untuk penyakit langka.