REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- In vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung merupakan salah satu teknologi reproduksi berbantu (TRB). Meski dapat membantu pasangan dengan masalah infertilitas, ada risiko yang perlu diwaspadai oleh pasangan yang berhasil memiliki anak melalui program IVF. Risiko tersebut adalah kemungkinan hipertensi pada anak yang dilahirkan melalui program IVF.
Hal ini diungkapkan oleh tim peneliti dari University Hospital di Bern yang telah melakukan penelitian terhadap 54 anak hasil program IVF yang tampak sehat. Tim peneliti juga melibatkan 43 anak yang dilahirkan melalui pembuahan alami sebagai kelompok pembanding.
Melalui penelitian ini, tim peneliti berhasil menemukan adanya tanda penuaan pembuluh darah dini pada kelompok anak yang dilahirkan melalui program IVF. Setidaknya ada 25 persen anak berusia 11-12 tahun dari kelompok IVF yang memiliki arteri brakialis lebih sempit dibandingkan anak-anak seusia mereka yang dilahirkan melalui pembuahan normal. Arteri brakialis merupakan pembuluh darah utama di tangan.
Selain itu, tim peneliti juga menemukan bahwa anak-anak tersebut memiliki dinding arteri yang lebih tebal. Sebagai tindakan lebih lanjut, tim peneliti mengikuti perkembangan anak-anak tersebut selama lima tahun. Memasuki usia 16-17 tahun, anak-anak yang dilahirkan melalui program IVF memiliki risiko untuk mengalami tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Rata-rata tekanan darah pada remaja di kelompok IVF adalah 120/71, sedangkan rata-rata tekanan darah pada remaja di kelompol pembanding adalah 116/69. Yang cukup mengkhawatirkan, delapan remaja dari kelompok IVF sudah mengalami hipertensi dengan tekanan darah di atas 130/80. Namun hanya satu remaja dari kelompok pembanding yang mengalami hipertensi.
"Hanya membutuhkan lima tahun hingga perubahan pada tekanan darah arterial ini terlihat," jelas ketua tim peneliti Dr Emrush Rexhaj seperti dilansir //Mail Online//.
Melalui temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak yang dilahirkan melalui program IVF memiliki risiko terhadap hipertensi hingga enam kali lipat. Kecenderungan ini tentu perlu diwaspadai karena hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk serangan jantung dan stroke.
"Peningkatan prevalensi hipertensi arterial pada partisipan teknologi reproduksi berbantu merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan," lanjut Rexhaj.
Tim peneliti meyakini bahwa manipulasi dan fertilisasi embrio sebelum ditanamkan ke dalam rahim perempuan memainkan peran dalam peningkatan risiko hipertensi ini. Tim peneliti menilai manipulasi dan fertilisasi embrio tersebut mungkin menyebabkan sedikit perubahan genetika yang mempengaruhi jantung dan sistem sirkulasi bayi yang dilahirkan melalui program IVF.
Temuan terbaru ini juga diamini oleh ahli jantung dari Federation University Australia Dr Yutang Wang. Wang mengatakan teknologi reproduksi berbantu melibatkan manipulasi pada embrio di tahap yang sangat dini di mana embrio mungkin sangat rentan terhadap gangguan eksternal.
"Karena itu, tidak mengejutkan jika (TRB) dapat meningkatkan kerentanan individual terhadap beberapa penyakit," papar Wang.
Oleh karena itu, tim peneliti menilai para dokter perlu mempertimbangkan pendekatan baru demi mencegah risiko kardiovaksular pada anak-anak di masa depan yang akan dilahirkan melalui metode TRB. Salah satunya dengan memastikan bahwa anak-anak yang dilahirkan melalui metode IVF melakukan lebih banyak olahraga dan menerapkan pola makan yang sehat.
Jika diperlukan, mungkin juga memberikan anak-anak tersebut obat statin atau ovat jantung lain sejak usia dini demi mencegah risiko-risiko pengakit kardiovskular.
"Penelitian lebih lanjut akan menunjukkan kepada kita apakah IVF meningkatkan penyakit kardiovaksular jangka panjang seperti stroke dan serangan jantung pada manusia, dan juga penelitian mengenai metode untuk meminimalisasikan risiko-risiko ini sangat dibutuhkan," tukas Wang.