Senin 03 Sep 2018 18:13 WIB

Komunitas 22 Ibu Adakan Pelatihan Batik Klungsu di Fukuoka

Batik dingin adalah proses pembuatan batik menggunakan lilin dingin.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/Priyantono Oemar / Red: Indira Rezkisari
Karya lukis batik malam dingin hasil pelatihan Komunitas 22 Ibu di Bali sedang diangin-anginkan.
Foto: dok Komunitas Ibu 22
Karya lukis batik malam dingin hasil pelatihan Komunitas 22 Ibu di Bali sedang diangin-anginkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seni batik malam dingin akan dibawa ke Jepang. Pembawanya adalah Ariesa Pandanwangi, Gilang Cempaka, Nurul Primayanti, dan Rina Mariana. Mereka tergabung dalam Komunitas 22 Ibu.

‘’Kami memberikan pelatihan ke publik Jepang tentang melukis di atas kain dengan gutha tamarind dan pameran di Fukuoka Art Exhibition,’’ ujar Nurul Primayanti, di Jakarta, Senin (3/9). Mereka akan bertolak ke Jepang, Selasa (4/9) untuk memulai kegiatan di Fukuoka pada Rabu (5/9).

Komunitas 22 Ibu berencana mengikuti pameran sampai 12 September 2018. ‘’Kita bawa 80 spanram dari sini, karena di sana harganya mahal,’’ ujar Nurul, dosen desain produk di Podomoro University.

Spanram itu digunakan untuk membuat permukaan kain kencang sehingga mudah dilukisi dengan pasta klungsu. Menurut Nurul, ada 80 peserta yang ingin mengikuti kelas pelatihan batik dingin. Yang mendaftar, kata Nurul, membludak, tetapi panitia akhirnya membatasi hanya 80 peserta untuk pelatihan selama dua jam. Pelatihan batik malam dingin menggunakan pasta klungsu (gutha tamarind) dijadwalkan pada Kamis (7/9) pukul 13.00-15.00 waktu Fukuoka. Klungsu adalah nama Jawa untuk biji asam.

Di jadwal yang disusun panitia disebutkan batik gutha tamarind adalah teknik pewarnanan berulang-ulang di kain menggunakan bubuk asam jawa (powder of Javanese acid). Dijelaskan pula dalam jadwal acara itu, guru-guru dari Indonesia akan berbicara tentang budaya Indonesia dan cara menikmati batik, berkaitan dengan ekonomi dan gaya hidup,

Mereka memang guru. Nurul mengajar di Universitas Podomoro, Jakarta; Ariesa mengajar di Universitas Maranatha, Bandung; Gilang Cempaka mengajar di Unversitas Paramadina, Jakarta; dan Rina mengajar di SMPN 1 Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. ‘’Diundang ke Jepang karena mereka ingin mengenal dan mendapatkan presentasi dari saya tentang karya,’’ ujar Rina saat ditemui di SMPN 1 Ngamprah, Rabu (29/8).

Undangan ini, menurut Rina merupakan buah dari kegiatannya bergabung di Komunitas 22 Ibu. Komunitas ini dibentuk pada 2013 oleh alumni UPI, ITB, guru TK, SMP, dan SMA, serta para dosen di beberapa universitas seperti Maranatha, Paramadina, dan Podomoro.

Rina menceritakan mulai berkarya batik dingin sejak tiga tahun lalu. Proses pembuatannya, menurut dia, terlebih dahulu menyiapkan kain dengan berbagai macam jenis. Jenis kain tersebut menentukan juga terhadap warna yang akan dipakai.

"Setelah itu batik pakai perintang, perintangnya itu malam (lilin) dingin. Misal sutera murni, pewarnanya harus reaktif untuk perintangnya itu sendiri dari bubuk asam jawa yang sudah diolah menjadi gel. Setelah itu membuat seperti batik biasa," kata Rina.

Rina mengungkapkan batik malam dingin yang dibuatnya diklaim ramah lingkungan, prosesnya tidak rumit dan bisa dilakukan tanpa membutuhkan ruangan serta penyelesaian yang tidak terlalu sulit."Pelopornya salah satu guru, Niken, anggota di Komunitas 22 Ibu yang menggunakan batik malam dingin. Ada kreativitas dan keunikan tersendiri," kata dia.

Menurut Rina, bubuk biji asam jawa mudah didapat."Kita hanya mengembangkan batik daerah yang sudah ada tekniknya cuma bahannya berinovasi," kata dia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement