Jumat 31 Aug 2018 12:29 WIB

Usaha Berliku Shabu Hachi Gapai Sertifikat Halal

Karyawan sempat syok dan tamu yang mengeluh baru sebagian kendala Shabu Hachi.

Rep: Zahrotul Oktaviany/ Red: Indira Rezkisari
Restoran Shabu Hachi.
Foto: dok Shabu Hachi
Restoran Shabu Hachi.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menjadi sebuah kebanggaan dan prestasi tersendiri bagi pemilik restoran ketika usahanya mendapat sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Hal ini pun dirasakan Sujarwo Budiono selaku pemilik dari restoran makan sepuasnya Shabu Hachi. Restoran yang menyajikan makanan ala Jepang seperti shabu-shabu dan yakiniku ini resmi mendapat sertifikat halal MUI sejak tanggal 30 Agustus 2018.

Jarwo, nama panggilan akrabnya, bersama sang istri telah mendaftarkan dan berusaha mendapat sertifikasi ini sejak setahun yang lalu. Namun tantangan dan perubahan yang harus dilalui menurutnya cukup berat hingga mereka sempat stres.

"Jujur saja, awalnya saya dan istri mengira proses sertifikasi ini hanya begitu saja. Administratif. Tapi ternyata tidak," ujarnya ditemui di salah satu cabang resto Shabu Hachi di Bogor, Kamis (30/8).

Ada banyak perubahan dan hal detail yang perlu diperhatikan selama proses sertifikasi ini berlangsung. Bahkan, proses ini disebut sempat setop tiga bulan karena ada salah satu bahan yang masih belum jelas kehalalannya.

Untuk menghadapi ini, Ia pun melakukan komunikasi secara intens dengan pemasok bahan makanan tersebut. Saking tak sabarnya, Jarwo bahkan berencana mengajak auditor dari LPPOM MUI untuk pergi bersamanya ke Singapur tempat pemasok itu berada.

Perubahan yang paling terasa menurutnya ketika Shabu Hachi harus menerapkan sistem jaminan halal (SJH) dengan baik dan benar serta intens. Salah satu yang membuat bagian internal dari restoran ini merasa kaget adalah ketika muncul larangan membawa makanan dari luar.

"Sebetulnya dari internal, semua karyawan mendukung Shabu Hachi melakukan sertifikasi halal. Tapi begitu SJH ini betul-betul diterapkan, mereka syok," ucap Jarwo.

Karyawan yang dulunya bebas dan diizinkan untuk membawa bekal makanan dari rumah atau membeli makanan dari luar ketika jam istirahat, kini sudah tidak diizinkan. Peraturan ini berlaku mulai enam bulan yang lalu. "Ketika banyak yang kaget, ternyata banyak juga yang memilih resign, mengundurkan diri. Mereka merasa nggak siap untuk itu," ujarnya.

Peraturan larangan membawa makanan ini pun berlaku bagi konsumen yang makan di Shabu Hachi. Setiap karyawan yang melihat ada konsumen membawa makanan, akan dilakukan pengecekan terlebih dulu atas barang tersebut.

Jika dari hasil pengecekan ditemukan barang berupa makanan yang tidak jelas kehalalannya atau dibungkusnya tidak ada logo halal, maka karyawan akan mengamankan barang tersebut untuk sementara dan disimpan di meja resepsionis. Hal ini sudah tentu menuai beragam respons dari konsumen. Ada yang menerima, tapi tidak sedikit yang menolak bahkan merasa peraturan tersebut mengada-ada.

"Begitu SJH ini diterapkan, pelanggan kita juga syok. Mereka nggak boleh bawa makanan sendiri. Bahkan kue yang biasanya untuk kejutan ulang tahun begitu, ikut kena skrining pegawai kita," ujar pria berusia 49 tahun ini.

Perubahan lainnya pun berhubungan dengan pemasok bahan makanan dan bumbu masak untuk dapur Shabu Hachi. Tiap pengiriman barang utamanya daging, harus melampirkan sertifikat dan keterangan kapan produk tersebut dipotong dan kapan tanggal pengemasannya.

Bagi pemasok dalam negeri, peraturan yang berlaku diantaranya larangan pengiriman menggunakan kantong kresek berwarna. "Yang kalau dulu ya sudah kita terima lalu kita simpan sembarangan, sekarang tidak bisa. Semua harus tertata rapi, tercatat, dan sistematis," ujarnya.

Motivasi ingin memuaskan pelanggan dan membuat mereka nyaman serta merasa aman saat mengkonsumsi produk jualannya menjadi pendorong kuat Shabu Hachi teguh dan berusaha menghadapi perubahan yang ada demi sertifikat halal MUI. Terlebih, 80 persen konsumen mereka adalah ibu-ibu dari majelis taklim.

Direktur LPPOM-MUI Lukmanul Hakim pun mengapresiasi usaha gigih Jarwo dan istrinya. Ia menyebut ketika sebuah perusahaan ingin mendapat sertifikat halal bagi usahanya, memang harus mengalami perubahan dan penyesuaian. Namun ini semua terbayar ketika sertifikat tersebut sudah didapat.

"Memang menjadi masalah dan tantangan bagi perusahaan untuk menuju standar halal ini. Bisa kita pahami ketika resto yang latar belakangnya bukan dari Islam, lalu ingin mendapat sertifikat. Pasti ada perubahannya," ujarnya.

Ia pun menjelaskan untuk larangan membawa makanan dari luar bukan dibuat semata-mata belaka. Salah satu alasannya adalah demi menjaga sistem halal yang telah dijalankan oleh resto tersebut.

Lukman mencontohkan ketika ada pegawai yang membeli makanan di luar kemudian menyimpan di kulkas milik resto, maka ketika ada inspeksi mendadak (sidak) dari auditor, makanan tersebut akan menjadi pertanyaan. Akan susah untuk menunjukkan bahwa hal tersebut milik pribadi dan tidak ada hubungannya dengan resto.

"Kebijakan tidak boleh ada makanan dari luar ini untuk menghindarkan barang-barang yang tidak diinginkan, baik dibawa oleh karyawan atau konsumen. Ini karena ketika ada sidak, kita akan berbicara fakta. Apa yang kita temukan di tempat," ucap Lukman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement