Selasa 28 Aug 2018 09:43 WIB

Wiro Sableng, Penemuan Jati Diri Pendekar Kapak

Jangan tinggalkan bioskop hingga menonton after credit-nya.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Indira Rezkisari
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni
Foto: Lifelike Pictures
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nusantara, abad ke-16. Pendekar kapak Wiro Sableng (Vino G Bastian) hidup di gunung bersama gurunya, Sinto Gendeng (Ruth Marini). Sesuai nama yang tersemat, murid dan guru itu selalu menjalani hidup penuh keriangan seolah tanpa beban.

Sampai pada suatu hari, Sinto bertitah kepada Wiro untuk meringkus Mahesa Birawa (Yayan Ruhian), mantan muridnya yang berkhianat. Perjalanan pertama Wiro di dunia nyata dimulai, penuh petualangan yang mempertemukannya dengan sosok dan pengalaman baru.

Wiro berjumpa dengan Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi) yang pada akhirnya menjadi sahabat setia. Tidak hanya mengungkap rencana keji Mahesa Birawa, Wiro pun menemukan esensi sejati sebagai seorang pendekar.

Film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni siap tayang di bioskop mulai 30 Agustus 2018. Sinema laga fantasi arahan sutradara Angga Dwimas Sasongko itu diadaptasi dari serial novel karya Bastian Tito yang sangat laris di tahun 1970-1990an.

photo
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni

Rumah produksi Lifelike Pictures memaksudkan film sebagai paket komplit sinema laga, komedi, fantasi, dan drama. Menariknya, Wiro Sableng merupakan film hasil koproduksi pertama dengan 20th Century Fox di Asia Tenggara.

Film kolosal ini didukung banyak nama besar dalam dunia hiburan Indonesia. Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, ada Marsha Timothy, Andy /rif, Yayu Unru, Dwi Sasono, Marcella Zalianty, Lukman Sardi, Rifnu Wikana, Marcell Siahaan, dan Happy Salma.

Akting mereka patut diacungi jempol, termasuk aktor utama Vino G Bastian yang tidak mengecewakan sebagai Wiro. Dia bisa menyajikan porsi kesablengan yang moderat, dengan ucapan dan gestur jenaka tetapi tidak berlebihan melawak.

Inkonsistensi bahasa menjadi catatan untuk film. Dengan latar waktu abad ke-16, bahasa yang digunakan justru berbaur antara kalimat baku dengan celetukan slang zaman sekarang. Namun, bisa diterima apabila pertimbangannya adalah supaya film mampu menjangkau generasi terdahulu sampai penonton milennial.

Film ini menjadi pengingat, bahwa Indonesia juga memiliki cerita dan ikon pahlawan lokal yang tak kalah melegenda. Peringatan untuk penonton, ada after credit yang layak dinanti-nantikan, tentunya mengisyaratkan adanya sekuel film.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement