REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Sumarno bersama petani kopi lain, sudah mulai mengemas kopi sendiri lewat koperasi. Namun, penjualannya masih terbatas pada kegiatan-kegiatan pameran. Ia mengaku belum pernah mendapat pesanan kopi dengan pengiriman lewat jasa ekspedisi.
"Belum tahu caranya," kata Sumarno, ketua I Kelompok Tani Sri Utomo, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Batara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, kepada Republika.co.id, Selasa (17/7).
Petani kopi liberika di kawasan gambut itu sudah mulai mengolah kopi secara benar sejak 2016. Mereka sudah mendapat pelatihan memetik kopi, menyangrai, bahkan sudah ada yang ikut pelatihan cupping. Selain menjual biji kopi kepada agen yang datang, mereka juga telah melibatkan istri mereka untuk mengolah kopi untuk dijual biji sangrai ataupun bubuk.
Alhasil, pemasaran kopi mereka belum menjangkau pasar luas atas usaha mereka sendiri. Meskipun biji kopi mentah mereka sudah sampai di Malaysia, hal itu terjadi karena agen yang membeli kopi mereka kemudian menjualnya ke Malaysia.
Lain halnya Oky, yang sudah berusaha berdagang kopi sejak 10 tahun lalu. Mulai 2017 ia mulai berjualan di lokapasar (marketplace). Ia menampung kopi-kopi dari petani kopi Sidikalang, ia sangrai dengan panas api kayu.
"Hai, dari Season Shop, kopinya udah dikirim ya," ujar Oky lewat aplikasi Whatsapp, yang Republika.co.id terima pada 3 September 2017. Ia kirim juga bukti pengiriman lewat layanan JNE Reguler dari Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Pada 6 September 2017, barang sudah tiba. Namun, ia mengakui, pengiriman kopi ke luar kota dengan jasa ekspedisi belum banyak.
Yos Rizal Suriaji, pemilik Kopi Keto di Pamulang, Tangerang Selatan, juga telah memanfaatkan jasa ekspedisi. Ketika ia membeli kopi dari petani atau dari roastery di daerah yang memberdayakan petani kopi lokal, kopi ia terima dari kurir ekspedisi yang mengantarkan ke rumahnya. Yos juga mengirimkan Kopi Keto yang dipesan pembeli dengan menggunakan jasa ekspedisi.
Namun, untuk Kopi Keto yang siap minum hanya dijual di Jabodetabek menggunakan jasa ojek daring untuk pengirimannya. "JNE, Tiki, dan lain-lain melarang produk cair," jelas dia kepada Republika.co.id, Kamis (19/7).
Untuk yang di luar Jabodetabek, ia mengirim paket berupa kopi bubuk kemasan 200 gram atau drip bag bersama amunisi keto dan produk camilan. Pembeli menyeduhnya sendiri untuk seduh dingin (cold brew), dengan panduan dari Yos lewat komunikasi Whatsapp. Menurut Yos, mereka senang berkomunikasi lewat Whatsapp daripada lewat brosur.
Karenanya, Yos pun tak perlu keluar uang untuk mencetak brosur cara penyeduhan Kopi Keto untuk para pembeli di berbagai daerah. Di ujung barat, ia sudah memiliki pelanggan di Aceh.
Di ujung timur ia sudah memiliki pelanggan di Papua. Berkat adanya jasa ekspedisi itu, hampir ke semua provinsi pernah kirim pesanan. "Tiap hari bisa empat sampai sepuluh paket yang harus dikirim dengan JNE, Tiki, atau JNT," kata dia.
Menemukan pasar di komunitas medsos
Yos mendapatkan pembeli dari grup-grup komunitas keto di media sosial. Di grup Facebook: grup Ketofastosis ada 350 ribu anggota, grup Ketogenik ada 100 ribu anggota. Sebanyak 97 persen pelanggannya adalah perempuan.
Mereka ini senang bukan main jika sudah menerima Kopi Keto. Mereka rajin memajang foto Kopi Keto di media sosial. Menurut Yos, mereka inilah yang mempromosikan Kopi Keto.
Lewat komunitas ini, Yos terinspirasi memunculkan Kopi Keto di saat diet keto menjadi perbincangan. Ia meluncurkan produk ini 18 Juli 2017. Karena pelanggannya perempuan, maka ia memilih kopi yang memiliki after taste buah-buahan, dangan sangrai light hingga medium. Jenis sangrai ini rendah karbohidrat, fruity, dan pahitnya sedang.
Ia manfaatkan lokapasar dan media sosial untuk promosi dan berbagi pengetahuan tentang kopi. "Kami menjadi yang pertama menjual kopi di komunitas keto," kata Yos.
Di Bandung, Kopi Kapal Selam yang sudah ada sejak awal 1930-an kini juga mulai memanfaatkan jasa ekspedisi untuk melayani pelanggan dari luar kota. Yang dari luar kota memesan lewat Whatsapp, lalu dikirim lewat perusahaan ekspedisi seperti JNE, Tiki, dan JNT, setelah ada transfer pembayaran.
"Volumenya masih sedikit, belum sampai 10 persen dari total penjualan," ujar Yuanto Chandra, generasi ketiga yang kini mengelola Kopi Kapal Selam di Bandung, kepada Republika.co.id. Informasi tentang kopi Kapal Selam, menurut dia, beredar dari mulut ke mulut, karena Kapal Selam belum melakukan penjualan lewat lokapasar.
Lampu-lampu minyak yang dikirim lewat jasa ekspedisi dari narablog yang memanfaatkan blog untuk menjual barang-barang jadul. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika).
Kapal Selam menyediakan beragam kopi dari berbagai daerah. Ada katura dari Flores, arabika dari Dieng, Toraja, Gayo, Sidikalang, dan sebagainya. Pembeli yang datang di toko, bisa memesan kopi biji ataupun kopi yang digiling berdasarkan permintaan dengan beragam ukuran giling dan beragam jenis sangrai. Saat Republika.co.id mengunjungi toko Kapal Selam, Ahad (1/7), terlihat tumpukan karung kopi yang belum disangrai. Kopi yang sudah disangrai dibungkus plastik yang disimpan di kotak-kotak kaleng.
Untuk menjangkau pasar, David Harry memilih menggunakan blog untuk menjual barang-barang jadul. Maka, ia akan mengirim pesanan dari rumahnya di Kuta, Bali, ke berbagai kota juga dengan mengandalkan jasa ekspedisi. Republika.co.id pernah membeli lampu minyak darinya.
Ia merupakan narablog yang sejak remaja di era 1980-an hobi mengumpulkan barang lawas. Meski bukan pemulung, tak segan ia mengorek-ngorek bak sampah untuk mencari barang bekas yang dibuang. Berselang tahun, barang-barang itu memiliki nilai ekonomi karena sudah tidak diproduksi lagi. Hobi mencari barang jadul pun terus berlanjut.
"Sejak awal buka tahun 2015 memang jualan secara online," jelas pria yang mengelola blog barang lawas rusthour2015.blogspot.com, kepada Republika.co.id. Banyak narablog yang menjual barang lawas lewat blog sebelum lokapasar muncul. Ada yang sudah berjualan lewat blog sejak 2007, ada juga yang memulai pada 2010 saat lokapasar muncul.