REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian dari National Institute of Health Research memperlihatkan, rasa takut akan ketinggian dapat diatasi dengan bantuan terapis virtual. Penemuan ini semakin meningkatkan harapan para ahli terhadap virtual reality (VR) atau realitas maya dapat memainkan peran kunci dalam megatasi masalah kesehatan mental.
Menurut sruvei YouGov pada 2014, fobia akan ketinggian merupakan hal yang lebih umum di Inggris dibanding dengan takut laba-laba, ular atau berada di pesawat. Sebanyak 23 persen orang dewasa Inggris mengaku sangat takut ketinggian dan 35 persen lainnya sedikit takut. Sayang, para pengidapnya tidak mendapat pengobatan.
Profesor psikologi klinis di Universitas Oxford, Daniel Freeman mengatakan, ketakutan akan ketinggian merupakan aspek pertama dari kesehatan mental yang pernah ditangani VR. Pendekatan sebelumnya, para ahli hanya menggunakan VR sebagai bantuan selama terapi.
"Sedangkan, sistem terbaru, menjadikan VR sebagai komponen utama dan terapis terlatih bahkan tidak perlu hadir dalam terapi," ujar Freeman, dilansir di The Guardian, Kamis (12/7).
Penelitian melibatkan 100 orang dewasa yang fobia ketinggian. Mereka dibagi ke dua kelompok. Sebanyak 49 orang di antaranya diminta mengenakan perangkat VR seama setengah 1,5 jam setiap dua hingga tiga kali per pekan selama dua pekan. Sisanya, mendapat terapi biasa.
Terapi VR melibatkan pelatih avatar yang melakukan penilaian terlebih dahulu. Setelahnya, tiap individu diundang untuk memilih lantai dari bangunan virtual. Kemudian, mereka akan diminta melakukan aktivitas seperti menyelamatkan kucing dari ranting pohon, untuk mengeskplorasi pikiran di balik ketakutan mereka.
Tiap individu dinilai melalui serangkaian kuesioner pada awal penelitian, akhir periode terapi dan dua pekan setelahnya. Hasilnya mengungkapkan, seluruh responden yang melakukan terapi VR mengalami perbaikan signifikan.
Skor pada kuesioner memperlihatkan, ketakutan akan ketinggian menurun rata-rata 68 persen. Skor tersebut jauh lebih besar dibanding mereka yang melakukan terapi konvensional, yakni turun 3 persen.
Tim juga menemukan manfaatnya masih terlihat dua pekan setelah terapi VR. Freeman menjelaskan, hasil tersebut lebih baik dari yang diharapkan apabila seseorang melakukan terapi secara konvensional. "Kami tidak melakukan perbandingan langsung, tapi jika Anda melihat uji coba pengobatan lainnya, hasilnya jauh lebih baik," ucapnya.
Tapi, penelitian ini memiliki keterbatasan. Termasuk, penurunan ketautan akan ketinggian hanya berdasarkan pada kuesioner yang dijawab sendiri dan tidak jelas aspek mana dari terapi VR yang benar membantu. Studi ini juga tidak melihat apakah efek bisa bertahan dalam jangka panjang.
Psikolog Klinis dari Universitas Manchester, Warren Mansell mengatakan, dirinya tidak terkejut akan efektivitas terapi VR. Tapi, ia masih belum bisa memastikan apakah teknologi ini lebih baik secara keseluruhan dibanding terapi tatap muka dengan terapi.
Mansell optimistis, teknologi seperti ini dapat berguna di luar fobia. Misalnya, orang dengan gangguan bipolar yang memiliki gangguan kecemasan.