Selasa 05 Jun 2018 17:15 WIB

Jumlah Perokok di Indonesia Masih Tinggi

Dua dari tiga pria di Indonesia adalah perokok yang mulai merokok di usia 9 tahun.

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengunjung memperlihatkan tulisan dukungan tampa rokok saat pameran seni instalasi karya seniman nasional Ika Vantiani dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang digelar Pemerintah Kota Bandung, di Taman Film, Kota Bandung, Ahad (27/5).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Pengunjung memperlihatkan tulisan dukungan tampa rokok saat pameran seni instalasi karya seniman nasional Ika Vantiani dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang digelar Pemerintah Kota Bandung, di Taman Film, Kota Bandung, Ahad (27/5).

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- The Tobacco Atlas 3rd Edition pada tahun 2009 menyebutkan bahwa perokok di Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN, dengan persentase 46.16 persen dari keseluruhan penduduk negara-negara ASEAN. Sedangkan peringkat kedua, Filipina hanya memiliki presentase sebesar 16.62 persen.

Project DirectorMuhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),Supriyatiningsih mengatakan, hal ini menunjukkan betapa tingginya perokok yang ada di Indonesia. Kemudian, hal ini dilengkapi dengan data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2017 juga menunjukkan jumlah perokok di Indonesia mencapai 29,3 persen.

Dua dari tiga pria di Indonesia merupakan seorang perokok, dan sebanyak 60 persen mulai merokok dari usia 9 sampai 16 tahun. Di satu sisi, Indonesia merupakan salah satu dari dua negara dari 180-an negara yang belum menandatangani kesepakatan tentang pertembakauan.

"Hal ini membuat Indonesia sebagai sasaran empuk masuknya produk tobacco. Maka dari itu, kita harus hati-hati," ujarnya dalam acara workshop KTR (Kampus Tanpa Rokok) di Amphiteater B, E7 lantai 5 gedung KH Ibrahim UMY pada hari Selasa (5/6).

Ia juga menyampaikan bahwa dari data perokok di Indonesia, sebanyak 40 persen adalah orang miskin. Dan sebanyak 60 persen penghasilan digunakan untuk membeli rokok. Hal ini dikarenakan di Indonesia memiliki harga rokok termurah.

"Sebenarnya, warning untuk pengurangan konsumsi rokok di Indonesia sudah ada. Dengan memberikan pictorial warning di setiap kemasan rokok yang ada. Akan tetapi, Pictorial warning ini di Indonesia lama kelamaan semakin kecil. Pictorial warning yang awalnya hanya sebatas tulisan, kini yang terbaru, sudah digantikan dengan gambar yang mengerikan," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Rektor bidang Akademik UMY, Sukamta, menyebutkan bahwa di UMY sendiri telah memiliki regulasi untuk tidak diperbolehkannya merokok di lingkungan kampus. Menurutnya, regulasi ini telah ada dari tahun 2005 dengan nama menuju kampus bebas asap rokok, mulai dari pelarangan merokok di gedung yang ada di UMY.

"Di tahun 2005 juga, yang bertanggungjawab terhadap bersih, bebas dari asap rokok, hanya dari kalangan stakeholder seperti Rektor, wakil rektor, dekan dan ketua prodi serta tenaga kependidikan. Kemudian,tanggung jawab tersebut tidak hanya dipikul oleh pimpinan, tapi seluruh civitas akademika UMY," kata dia.

Setelah itu ketentuannya pun diperlebar, tidak hanya di gedung, namun juga di luar gedung. Pelarangan tersebut untuk semua yang berada di UMY. Semua tamu, semua yang berkunjung ke kampus muda mendunia kena peraturan tersebut. Begitu masuk kampus muda mendunia, maka mereka terkena hukum, untuk tidak boleh merokok di kawasan kampus, ungkapnya.

Sukamta pun memberikan usul kepada Muhammadiyah Tobacco Control Center MTCC UMY agar segera ditindak lanjuti untuk membuat sebuah satgas bebas dari asap rokok. Menurutnya, pimpinan juga wajib untuk mensosialisasikan terkait hal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement