REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi minum susu yang rendah masyarakat Indonesia bisa jadi karena masyarakat Nusantara pada zaman dulu memang tidak memiliki kebiasaan meminum susu. Hal itu diungkapkan sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran Fadly Rahman dalam sebuah lokakarya media di Jakarta, Kamis (3/5).
"Nusantara identik dengan kawasan agraris dan pesisir. Hewan ternak seperti kerbau dan sapi lebih dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah dibandingkan dimanfaatkan untuk dikonsumsi, termasuk susunya," kata Fadly.
Hal itu, kata dia, bahkan didokumentasikan oleh Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java yang diterbitkan pada 1817. Raffles menyayangkan potensi susu sapi di Jawa yang disia-siakan masyarakat.
Merujuk riset Exposé statistique du Tonquin, Raffles menemukan fakta mengapa konsumsi susu di kalangan orang Siam dan Cina rendah. Ternyata mereka tidak berkenan meminum susu hewan. "Mereka merasa jijik karena bagi mereka sama dengan meminum darah. Bagi mereka susu itu seperti darah yang berwarna putih," jelas Fadly.
Menurut Fadly, hingga Abad ke-15 tradisi gembala di Nusantara belum mantap sehingga sumber makanan hewani berbasis ternak lebih minim dibandingkan sumber makanan nabati. Apalagi, sapi disakralkan dalam tradisi Hindu.
"Tradisi minum susu memang dimulai oleh masyarakat dengan kebudayaan gembala. Sejak 9000 SM hingga 8000 SM, susu sudah dikonsumsi di Timur Tengah. Masyarakat Eropa baru mulai meminum susu 3300 SM hingga 1000 SM yang meyakini berkhasiat untuk menguatkan tubuh," tuturnya.
Fadly menjadi salah satu narasumber dalam lokakarya media yang diadakan salah satu brand susu nasional di Jakarta. Selain Fadly, narasumber lainnya adalah Anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan Gizi Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Marudut dan Kepala Divisi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Epi Taufik.