REPUBLIKA.CO.ID, SALT LAKE CITY -- Orang yang tinggal di dataran tinggi disebut lebih berisiko mengalami depresi dan memiliki keinginan bunuh diri. Temuan tersebut diulas dalam sebuah studi oleh University of Utah di Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat.
Kecenderungan demikian disebabkan oleh kurangnya level oksigen dalam darah yang disebut hipoksia hipobarik kronis. Secara spesifik, kondisi itu mengubah metabolisme serotonin dan bioenergetika otak yang kian memperburuk depresi.
Periset menganalisis 12 penelitian serta data berbasis populasi mengenai hubungan antara bunuh diri atau depresi dan ketinggian. Keseluruhan hasil studi telah dipublikasikan dalam jurnal Harvard Review of Psychiatry.
Menurut studi, mereka yang paling terdampak adalah yang bermukim di ketinggian 2.000 sampai 3.000 kaki atau sekitar 600 sampai 900 meter di atas permukaan laut. Namun, tentunya ada banyak faktor lain yang saling terkait.
"Ada variasi regional yang signifikan dalam tingkat gangguan depresi dan bunuh diri, menunjukkan bahwa kondisi sosiodemografi dan lingkungan amat berperan," ungkap salah satu peneliti, Brent Michael Kious.
Sementara, sederet faktor lain yang mengemuka termasuk kemiskinan, pendapatan rendah, dan perceraian. Namun, mereka yang tinggal di dataran tinggi menunjukkan penurunan tingkat kematian akibat penyalahgunaan zat terlarang.
Peneliti menyarankan solusi untuk mencegah hal tersebut. Beberapa pengobatan termasuk konsumsi suplemen 5-hydroxytryptophan (prekursor serotonin) untuk meningkatkan kadar serotonin dan kreatinin untuk mempengaruhi bioenergetika otak, dikutip dari laman Indian Express.