REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Industri perfilman Cina tengah berjuang untuk memperluas daya tariknya ke dunia internasional. Bioskop di Cina telah mengalami pertumbuhan pesat yakni lebih dari 30 persen per tahun terutama di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.
Profesor Yin Hong dari Universitas Tsinghua mengatakan, meski bioskop tumbuh pesat, kunjungan rata-rata masyarakat Cina masih sedikit daripada kebanyakan masyarakat di negara lain. Di sisi lain, pendapatan box office melonjak dari 130 juta dolar AS pada 2002, menjadi 7,56 miliar dolar AS pada 2017. Menurut Yin, meski pendapatan box office melonjak, industri film Cina masih tertinggal dari industri film lainnya terutama Hollywood.
"Film-film Cina telah menghasilkan pendapatan internasional yang jauh lebih sedikit daripada Eropa dan Amerika Utara, dan juga di Asia seperti India, Jepang, dan Korea Selatan," ujar Yin dilansir Xinhua News, Ahad (17/12).
Presiden Wanda Pictures Zeng Maojun berpendapat, bioskop Cina perlu memenuhi khalayak dengan film yang beragam. Dia mengatakan, saat ini film di bioskop Cina teralu homogen. Hal ini tercermin dalam genre dan alur cerita yang sangat mirip.
"Kelompok penonton tertentu tidak dapat menemukan film yang mereka sukai, ke depan pertumbuhan industri film akan didorong pada peningkatan konten," kata Zeng.
Menurut Zeng, industri film Cina membutuhkan fleksibilitas untuk memproduksi film yang lebih luas. Apalagi Cina memiliki lebih dari 50 ribu layar dan 800 produksi film per tahun.
Seorang produser terkenal Cina, Zhang Zhao mengatakan, industri film Cina dapat belajar dari produser Hollywood yakni memahami selera penonton. Selain itu, industri Cina perlu mengembangkan jaringan produksi dan distribusi yang matang, mamanfaatkan perluasan internet dengan cepat, dan bekerja sama dengan produsen asing.
Pejabat senior Asosiasi Film Cina Zhang Hong mengatakan, perusahaan produksi film milik negara masih mendominasi industri film Cina dan pengaruh pasar mereka secara perlahan melemah. Menurutnya, sebagian besar produsen film milik negara masaih mengalami restrukturisasi dari manajemen tradisional pelaksanaan hingga tata kelola perusahaan.
"Mereka kurang fleksibel dalam manajemen, sehingga sulit untuk bersaing dengan pasar dan selera penonton yang cepat berubah," kata Zhang.