Rabu 08 Nov 2017 08:47 WIB

Filosofi di Balik Akad Nikah Budaya Jawa

Rep: Noer Q Kusumawardhani/ Red: Indira Rezkisari
Presiden Joko Widodo menggandeng putrinya Kahiyang Ayu dengan ditemani Ibu Irana Widodo jelang akad nikah di Graha Solo, Rabu (8/11).
Foto: Republika/Andrian Saputra
Presiden Joko Widodo menggandeng putrinya Kahiyang Ayu dengan ditemani Ibu Irana Widodo jelang akad nikah di Graha Solo, Rabu (8/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adat memegang peranan penting di setiap kehidupan masyarakat suatu suku di Indonesia. Salah satunya dalam pernikahan.

Hal tersebut tercermin dari kegiatan pernikahan putri Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), Kahiyang Ayu, dengan Muhammad Bobby Afif Nasution. Bagi suku Jawa, pernikahan diadakan di tempat pengantin perempuan. Menurut pengamat kebudayaan Jawa, Karsono H Saputra, suku Jawa memiliki prosesi adat pernikahan yang sangat panjang mulai dari menjelang hingga acara pernikahannya.

Pada zaman dahulu sebelum menikah, calon pengantin laki-laki dan perempuan tidak boleh keluar rumah selama 40 hari supaya tidak terkena sawan atau hal buruk. Ritual tersebut dinamakan pingitan.

Namun, Karsono mengungkapkan, yang paling penting adalah menjalani prosesi siraman dan panggih. Siraman dilaksanakan sebelum midodareni.

"Awalnya, pada masa Hindu terdapat suatu kepercayaan bidadari turun dari langit ketika malam midodareni. Ketika bidadari itu merasuk ke tubuh calon pengantin perempuan dia akan bersinar menjadi sangat cantik," kata Karsono.

 

Sementara prosesi panggih adalah ketika seorang pengantin laki-laki dan perempuan yang sudah sah dipertemukan. Di dalam prosesi itu dilaksanakan serangkaian upacara yang harus dilalui. Misalnya, timbangan dan kacar kucur.

Upacara timbangan ini orang tua melihat apakah kedua anaknya yang sudah menikah itu seimbang atau tidak.

Ia kemudian menjelaskan soal upacara kacar kucur. "Kalau kacar-kucur, itu simbol bahwa laki-laki harus bertanggung jawab memberi nafkah lahir dan batin," ujarnya.

Dalam upacara ini yang menjadi simbol adalah biji-bijian. Harapannya pengantin laki-laki mencari nafkah yang bisa mengembangkan keluarga. Ada pula koin sebagai simbol kehidupan zaman sekarang.

Kemudian, ada upacara dulangan atau pengantin laki-laki dan perempuan saling menyuapi. Dalam pengertian adat Jawa, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama.

Di balik semua prosesi tersebut, Karsono menuturkan, terselip harapan untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan bagi kedua mempelai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement