Selasa 07 Nov 2017 04:53 WIB

Jatuh Bangun Komikus Indonesia

Rep: mj04/ Red: Karta Raharja Ucu
Pameran komik (ilustrasi)
Foto:
Komik (ilustrasi)

Dalam membuat karya, Padepokan Ragasukma memberi kebebasan kepada komikusnya. Setiap komikus dengan latar belakang dan pengaruh berbeda di nilai mem punyai karakternya masing-masing. "Melalui komik silat, kami mengambil tata nilai dan tata bahasa yang nantinya diterje mahkan dalam komik kami," kata Irzaqi.

Bagi Irzaqi, tantangan dalam membuat komik silat adalah ceritanya. Ia ingin membuat komik dengan cerita tidak terlalu rumit, namun dialognya mudah diingat pembaca. "Saya biasanya mencari satu kalimat yang unik. Kemudian saya nyari cerita yang pas dan bisa disesuaikan dengan kalimat tadi," ujar dia, yang terinspirasi komikus Tony Wong itu.

Sweta pun menekankan pada pembuatan plot cerita terlebih dulu. Ia membuat mind map untuk mendapatkan struktur ceritanya. Setiap karakter dalam komik, kata dia, mesti mempunyai asal-usul yang jelas. Sweta biasanya menyelesaikan terlebih dulu kata-kata dan dialog. Lalu kemudian membuat gambar tokoh dan latar belakang lokasinya.

Karena berkecimpung dalam komik bergenre silat, Sweta mengatakan, jurus para tokoh dan sen jatanya memiliki peran penting. "Selain itu, tata nilai," kata Sweta. Tata nilai dijelaskannya sebagai sebuah prinsip yang harus dimiliki karakter dalam komik silat. Sweta mencontohkan, Son Goku dalam komik Dragon Ball. "Meski Goku babak belur, dia tetap berusaha bertarung," ujar dia.

Sweta mengatakan, jurus dan tata nilai tersebut mesti diterapkan setiap komikus Padepokan Ragasukma dalam membuat karya. Ia mengatakan, masing-masing dari komikus mesti mengolah jurus dan tata nilainya sendiri. "Contohnya saya mengolah 'ketamakan manusia' dalam komik Pusaka Dewa. Manusia tidak pernah merasa puas, meski sudah mendapatkan apa yang dia inginkan," kata dia.

Dalam setiap komiknya, Sweta biasa mengambil latar belakang Kerajaan Majapahit. Bagi dia, Majapahit memiliki kekayaan tersen diri, namun masih kurang dilirik industri kreatif. Dalam membuat komik Pusaka Dewa, ia pun melakukan riset mengenai senjata pusaka di Indonesia, seperti keris. Nilai-nilai tradisional inilah yang coba dia angkat dalam komiknya. Ia mencontohkan, Jepang mampu dibangkitkan gairah budayanya me lalui cerita fiksi Musashi. "Kenapa Indonesia tidak?" ujar dia.

Sweta kemudian menumpahkan idenya dengan pensil untuk membuat sketsa. Garis-garis dalam sketasa itu lalu ditebalkan menggunakan pena. Selain dengan gaya konvensional, ia juga terkadang menggunakan teknik digital dalam membuat komiknya. Ia memanfaatkan pen tablet yang terhubung dengan komputer.

Soal teknis pembuatan komik, Padepokan Ragasukma memang tidak mengekang komikusnya untuk bergantung pada suatu alat. Dedy Koerniawan (24), misalnya, menggunakan pensil, drawing pen, dan kertas sebagai alat gambarnya. Lain dengan Irzaqi yang sempat menggunakan komputer kemudian beralih ke pen tablet.

Rancangan komik yang akan digarap ini semuanya dibicarakan dengan Irzaqi selaku kepala editor Padepokan Ragasukma. "Dibicarakan komiknya gimana, kover bukunya seperti apa, agar selaras," ujar Irzaqi.

Padepokan Ragasukma membatasi jumlah serial satu judul komik. Setelah lima volume, para komikus mesti mengakhiri ceritanya dan beralih ke judul baru. "Dalam riset yang saya lakukan, biasanya tiga seri sudah cukup. Kecuali saya dan Irzaqi, karena kami menjual nama," kata Sweta. Melalui Padepokan Ragasukma, Sweta dan Irzaqi sama-sama berharap komik silat akan terus ada dan memperkaya khazanah perkomikan Indonesia.

Kehadiran padepokan ini juga diha rap kan dapat menginpirasi komikus generasi baru yang menyenangi genre silat dan aksi. Meskipun, diakui, segmentasi pasar komik silat dan aksi ini masih terbatas. "Setiap genre punya 'pulaunya' sendiri. Jangan sampai komik silat teng ge lam," ujar Sweta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement