REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL — Ketegangan di Semenanjung Korea semakin memanas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, hal itu tidak menghalangi industri musik di Korea untuk menggelar konser di perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara, yang merupakan salah satu tempat dengan aktivitas militer paling tinggi di dunia.
Dilansir dari BBC Ahad (13/8), setiap tahun, bintang pop Korea Selatan tampil di sebuah lokasi yang berdekatan dengan Zona Demiliterisasi (DMZ), yang memisahkan semenanjung Korea, dalam sebuah "konser perdamaian". Tahun ini, Korea Utara mengancam akan menembakkan rudal ke wilayah AS di Guam, sementara Presiden AS Donald Trump telah mengancam mereka dengan “api dan amarah seperti yang belum pernah ada di dunia sebelumnya.”
Ada dua acara yang akan diselenggarakan dalam konser perdamaian ini. Pertama, konser yang menyuguhkan musim yang lebih populer atau KPop pada Sabtu (12/8) kemarin. Ini diikuti oleh konser musik klasik pada Ahad (13/8) hari ini.
Meskipun mereka dipasarkan sebagai "Konser DMZ", kedua konser tidak dilakukan di dalam zona demiliterisasi, namun di dekatnya. Lokasi konser yakni di tempat wisata bernama Nuri Peace Park di Kota Paju, Korea Selatan. Kota ini berbatasan dengan Seoul di bagian utara.
Acara ini diselenggarakan oleh stasiun Korea Selatan, MBC bersama pemerintah lokal dan Kementerian Unifikasi. Kementerian ini mempromosikan dan mempersiapkan penyatuan kembali kedua korea. Konser akan ditayangkan melalui televisi nasional, MBC, pada 15 Agustus yang menandai berakhirnya pemerintahan kolonial Jepang di semenanjung Korea pada 1945.
Konser K-pop tahun ini diberi label "Again, Peace!" dan akan menampilkan grup papan atas Korea Selatan seperti Girl’s Generation atau SNSD dan BTOB. Kehadiran bintang-bintang KPop ini diharapkan bisa menarik ribuan penggemarnya.
Acara ini juga diselenggarakan bertepatan dengan perayaan Hari Pembebasan Nasional yang menjadi hari libur di Korea. Perang Korea dimulai beberapa tahun setelah berakhirnya pendudukan Jepang. Secara teknis, Perang Korea belum berakhir karena hanya ada gencatan senjata antara kedua negara. Karena tidak pernah ada kesepakatan perdamaian, kedua negara masih kerap bertukar tembakan.
Konser perdamaian ini dimulai pada 2011, namun pada 2000 Korea Selatan pernah mencoba meyakinkan Korea Utara untuk mengadakan konser bersama di Pyongyang sebagai pertukaran budaya. Rencana tersebut gagal karena ketidaksepakatan masalah finansial.
Penyelenggara memposisikan konser sebagai cara untuk mendorong resolusi konflik Korea melalui pertukaran budaya. Kim Hak-jae, asisten profesor di Institute for Peace and Unification Studies di Seoul National University, mengatakan pemerintah Korea Selatan "ingin memanfaatkan daya tarik budaya pop Korea". KPop sudah sangat populer di seluruh Asia, dan terus meningkat di seluruh dunia.
Meski hidup mereka sangat terkendali, banyak warga Korea Utara dilaporkan merupakan penggemar musik Korea Selatan. Impor budaya lainnya seperti KDrama juga sering ‘diselundupkan’ ke Korea Utara. Prajurit yang membelot dari Korea Utara ke Korea Selatan sebelumnya mengatakan hiburan Korea Selatan membantu mereka mempelajari realitas kehidupan di luar negara mereka.
"Ini sama seperti saat Jerman terbagi menjadi Timur dan Barat," kata Prof Kim. "Orang-orang Jerman Timur merindukan gaya hidup yang lebih baik dan kualitas kehidupan Jerman Barat yang lebih tinggi melalui pengalaman media mereka."
Mengingat tidak ada keterlibatan dari Korea Utara dan konser tersebut tidak akan terlihat atau terdengar di sana, ada yang mengatakan konser lebih berfungsi untuk menarik wisatawan ke daerah tersebut dan menghasilkan pendapatan dari siaran TV di Korea Selatan.
Kendati demikian, Korea Selatan tidak menolak untuk menggunakan K-pop sebagai senjata saat ketegangan hubungan memuncak. Selama ini, Korea Selatan menempatkan pengeras suara di sepanjang perbatasan. Pengeras suara itu memperdengarkan lagu-lagu Kpop sebagai bagian dari upaya propaganda.
Tidak diketahui apa pendapat Pyongyang tentang konser tersebut, namun pemerintahan Kim Jong-un bukan penggemar Kpop. Bahkan, dia sebelumnya telah menyatakan propaganda "propaganda pop" di Korea Selatan sebagai tindakan perang.
"Pemerintah Korea Utara mencoba untuk memblokir dunia luar sebanyak mungkin, dan tidak ingin orang Korea Utara bercita-cita untuk menjadi seperti masyarakat Korea Selatan," kata Prof Kim.